Jujur, dulu saya sempat terpengaruh dengan argumen di atas, bak seorang penonton yang terkesima oleh permainan sulap seorang ilusionis ulung. Thanks to Mbak Novy yang menyadarkan saya dari pengaruh hipnotisme ilusi semantik “pilihlah yang terbaik dari yang terburuk” itu.  Berikut penjelasannya:

@Puryanto yang mengatakan, “Oleh karenanya jangan golput !!!! Pilih yang terbaik diantara yang jelek sekalipun… !!”. Gak logik ahh…masak yang terbaik diantara yang jelek sekalipun ? Itu mah namanya tetap milih yang jelek diantara yang jelek-jelek dong…..masak jelek bisa dibilang baik or terbaik ? ? ?

Yups, yang baik tetap yang baik, yang buruk tetap yang buruk. Yang buruk tidak otomatis bisa menjadi baik hanya karena disandingkan dengan yang buruk-buruk. Nanti ukuran baik-buruk jadi relatif dong. Padahal kebaikan adalah apa yang dianggap baik oleh syariah, dan yang keburukan adalah apa yang dianggap buruk oleh syariah. Coba kalau kita disuruh milih, mau minum wishki atau makan daging babi? Pilih meninggalkan sholat atau puasa ramadhan? Nggak bisa hanya pilih salah satunya kan? Karena dua-duanya haram, jadi dua-duanya mutlak harus ditinggalkan.

Argumen “pilihlah yang terbaik dari yang terburuk” sering juga dikaitkan dengan kaidah ushul fiqh ahwanu syarrain atau akhafu dhararain (yang paling ringan dari dua keburukan). Kalaupun kaidah ini memang benar adanya, penggunaanya nggak bisa sembarangan, seperti pada hal-hal yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah SWT.  Silahkan lihat tinjauan syar’i serta aplikasi yang benar dari kaidah-kaidah tadi pada tulisan ini: Bedah Qaidah Ahwanu Al-Syarrain (قاعدة أهون الشرين).

Topik Utama: Top 10 Alasan Sesat Wajibnya Pemilu