Satu lagi penyalahgunaan kaidah fiqh (ataupun kaidah berfikir), maa yudriku kulluhu, laa yudriku kulluhu, apa yang tidak bisa diambil semuanya, jangan tinggalkan semuanya. Kaidah ini menjadi pembenar bagi mereka yang berjuang dalam sistem yang bathil ini. Menurut mereka jika syariah Islam saat ini tidak bisa diberlakukan secara total, maka menjadi absah untuk “mencicil” dengan masuk kepada sistem yang bathil tadi, ikut menjunjung tinggi demokrasi yang menihilkan Allah sebagai pembuat hukum, berkompromi dengan kezhaliman kapitalisme-liberalisme, berkoalisi dengan partai nasionalis sekuler, dan lain-lain. Semuanya itu dilakukan, dengan kaidah dan landasan berfikir; jika tidak bisa ambil semuanya, jangan tinggalkan semuanya.

Padahal, jelas sekali penggunaan kaidah tersebut tidak bisa serampangan dan semaunya sendiri. Kaidah tersebut tidak boleh digunakan dalam amal-amal yang telah jelas-jelas diharamkan oleh Allah SWT, seperti demokrasi yang jelas-jelas mendepak Allah sebagai satu-satunya yang berhak melakukan tahlil (penghalalan) dan tahrim (pengharaman). Masak UU pornografi dan pornoaksi harus pake voting segala? Lha wong udah jelas-jelas haram! Menggunakan kaidah tadi dalam perkara yang haram jelas tidak pas alias keblinger! Analoginya seperti orang yang mau mencuri uang 200 juta, tapi tidak mampu, maka jangan tinggalkan semuanya, 20 juta atau 10 juta saja tidak apa-apa. Karena maa yudriku kulluhu, laa yudriku kulluhu, apa yang tidak bisa diambil semuanya, jangan tinggalkan semuanya. Penggunaan kaidah ini jelas salah dan tidak pada tempatnya khan? Lalu yang benar seperti apa? Penggunaan kaidah tadi yang benar misalnya dalam amal-amal yang hukumnya sunnah. Jika tidak mampu sholat tahajud 20 rakaat, maka jangan tinggalkan semuanya, dua rakaat nggak pa-pa. Jika tidak bisa mengkhatamkan Quran dalam waktu sehari semalam, jangan tinggalkan semuanya, khatamkan dalam waktu sebulan atau lebih juga baik, daripada tidak sama sekali.

Topik Utama: Top 10 Alasan Sesat Wajibnya Pemilu