You are currently browsing the tag archive for the ‘kaffah’ tag.

Mengapa umat Islam sekarang terpuruk dan tidak bisa menjadi umat terbaik? Apakah yang salah Islamnya atau umatnya? Bisa saja Islamnya yang salah, jika terbukti seluruh umat Islam dari generasi awal sampai sekarang, semuanya terpuruk! Tapi jika ada sebagian saja dari generasi Islam terdahulu mampu menjadi umat terbaik dan memimpin dunia, berarti yang salah adalah kita atau umatnya. Analoginya kalau Anda seorang murid yang belajar di sekolah terbaik, tapi kenyataannya Anda tidak gagal dan tidak lulus, siapa yang salah, Anda atau sekolahnya? Jawabannya harus dilihat dulu siapa saja yang gagal. Kalau semua murid gagal dan tidak lulus, berarti sekolahnya yang salah dan jelek. Tapi kalau hanya Anda sendiri yang gagal, berarti Andalah yang salah, bukan sekolahnya. Dan itu tidak mengubah predikat sekolah terbaik tadi.

Kenyataannya generasi awal Islam, yang diperjuangkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat, berhasil membangun peradaban Islam dari nol sampai bisa sejajar dengan dua kekuatan adi daya besar saat ini, Persia dan Romawi. Bahkan sepeninggal Baginda yang mulia, dua adi daya besar itu takluk oleh kaum muslimin! Sangat layak disebut umat terbaik, apalagi mengingat mereka merintisnya dari nol besar. Dari upaya dakwah dengan beberapa gelintir pengikut, sempat dikucilkan dan diembargo oleh sanak kerabat mereka, bahkan dihina dan dianiaya oleh Bani Tsaqif di Thaif. Sungguh sulit membayangkan, kelompok kecil lemah yang kerap dinjak-injak tadi akhirnya bisa membangun supremasi politk yang superior. Spirit umat terbaik ini diteruskan oleh generasi Islam sesudahnya. Ada nama-nama yang ditulis dengan tinta emas sejarah seperti Tariq bin Ziyyad, Shalahuddin Al-Ayubi dan Muhammad Al-Fatih. Yang telah memberikan banyak kontribusi berupa peninggalan bekas-bekas wilayah kekuasaan yang luas, khasanah ilmu-ilmu Islam, sastra, sains dan teknologi. Bahkan prestasi-prestasi ini dicapai tatkala umat yang lain mengalami kemunduran di titik yang paling rendah, yang mereka sebut sendiri sebagai the dark ages, abad-abad kegelapan. Ini membuktikan bahwa umat Islam mencapai prestasi gemilangnya atas usahanya dan jerih payahnya sendiri. Umat Islam pernah menjadi umat terbaik. Kalau sekarang tidak, berarti yang salah adalah umatnya.

Kapan tepatnya kita kehilangan predikat umat terbaik tadi? Anda nanti mungkin akan terkejut dengan jawabannya. Perjuangan umat Islam dimulai sekitar abad ke-7 M, dan terus berlangsung sampai awal abad ke-20 M. Selama kurun waktu 13 abad itu umat Islam terus eksis di pentas politk ekonomi global. Memang terjadi naik turun tapi warna Islam tetap dominan dan terlihat jelas. Tidak pernah seorang khalifah menerapkan hukum selain hukum Islam, baik dalam dan luar negeri. Tidak pernah seorang khalifah meninggalkan dakwah dan jihad. Kecuali menjelang akhir abad ke-19 umat Islam mulai melemah dan limbung, dan akhirnya jatuh dengan telak pada tahun 1924. Saat itu, pertama kalinya dalam 13 abad, umat Islam mencampakan syariah-nya dan mulai memberlakukan hukum-hukum sekuler. Saat itulah umat Islam mulai kehilangan identitasnya  seperti anak ayam kehilangan induk, bergumul dengan penjajahan, kemiskinan dan keterbelakangan. Sampai sekarang.

Kalau kita hitung-hitung, kita telah berada dalam keadaan terpuruk mulai dari 1924 sampai sekarang, belum lebih dari 90 tahun atau satu abad. Apa artinya? Artinya umat Islam menjadi umat yang terpuruk baru sekitar satu abad dibandingkan dengan masa-masa terbaiknya selama 13 abad. Dengan kata lain, kita sakarang berada pada awal-awal keterpurukan kita, setelah 13 abad lamanya kita berprestasi. Kembali ke analogi sekolah di awal tulisan, ibaratnya kita adalah murid angkatan ke-14 yang gagal setelah 13 angkatan sebelumnya lulus dengan predikat terbaik!

Dan semua itu terjadi ketika kita mulai lemah dalam menggenggam Islam. Coba kita tengok ayat-ayat Al-Quran di bawah ini:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (24:55)

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”  (2:208)

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (2:85)

Allah telah berjanji kepada kita, bahwa kita akan berkuasa atau eksis seperti halnya generasi terdahulu, jika dan hanya jika kita beriman dan bertakwa, mengamalkan Islam dengan utuh dan sempurna. Lalu seperti apakah Islam yang utuh dan sempurna itu? Kalau kita tidak tahu seperti apa keutuhan dan kesempurnaan Islam, maka wajar keadaan kita terpuruk seperti sekarang. Kita akan membahasnya pada topik yang akan datang.

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk membawa rahmat bagi semesta alam:

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (21:107)

Namun rahmat berupa ketentraman, kebahagiaan dan kesejahteraan itu hanya bisa terwujud jika kita mengamalkan Islam secara kaffah, utuh dan sempurna:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (21:107)

Kaffah dapat diartikan mengamalkan ajaran agama dengan utuh dan sempurna, tanpa pernah memilih-milih atau memilah-milah; hanya mengamalkan sebagian dari ketentuan dan perintah-Nya, dan mengabaikan sebagian yang lainnya. Maka kita harus mengetahui aspek dan ruang lingkup ajaran Islam, agar tidak terjebak pada pengamalan Islam yang serba setengah-setengah. Siapa pun yang mau membuka Al-Quran dan Al-Hadist dari awal sampai akhir, pasti akan menemui bahwa Islam mencakup tiga aspek utama:

  1. Ibadah (akidah, sholat, puasa, zakat, haji, jihad)
  2. Ahlakul Karimah (shiddiq, jujur, amanah, fathonah, tabligh, makanan, minuman dan pakaian)
  3. Muamalah (pemerintahan/siyasah, perekonomian/iqtishadiyah, sosial/ijtimaiyah, pidana/uqubat)

Siapa pun yang pernah membaca Al-Quran pasti akan melihat kekaffahannya dan kesempurnaannya dengan mendapati ayat-ayat yang membahas tentang akidah, ibadah dan muamalah secara beriringan dan saling susul menyusul satu dengan yang lain. Sebagai contoh, Allah mewajibkan kepada hamba-hambanya untuk berpuasa:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (2:183)

Namun lima ayat sebelumnya Allah juga mewajibkan kita untuk menjalankan hukum qishash dalam pembunuhan:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (2:178)

Dari sini bisa dimengerti bahwa Islam tidak hanya berbicara tentang manusia yang baik (yang amanah, fathanah, tabligh, shiddiq yang taat beribadah dan berahlaq karimah), tetapi manusia yang baik yang menjalankan kebijakan atau aturan yang baik pula, yaitu syariah Allah SWT dalam lingkup muamalah tadi (pemerintahan/siyasah, perekonomian/iqtishadiyah, sosial/ijtimaiyah, pidana/uqubat dan lain-lain).

Mengapa hal ini penting diketahui? Karena kenyataannya, seperti yang kita jumpai saat ini, ada orang atau pemimpin yang baik, tekun beribadah dan berahlak karimah, tapi ia menjalankan kebijakan dan aturan yang tidak baik; aturan yang tidak bersumber dari Quran dan Sunnah. Sebagai contoh, ada seorang kepala negara yang alim, taat beribadah, dan berahlak karimah (bahkan sudah berkali-kali haji), tetapi dia menjalankan kebijakan negara yang tidak mengindahkan ketentuan agama. Misalnya dengan menerapkan kebijakan privatisasi SDA (sumber daya alam), padahal jelas-jelas menurut tuntunan agama SDA adalah milkiyah ammah (kepemilikan umum) yang tidak boleh dimiliki dan dimanfaatkan secara perorangan atau kelompok. Atau dengan melanggengkan tata ekonomi yang ribawi, padahal jelas-jelas Al-Quran menyatakan riba adalah dosa besar.

Sekali lagi, memahami keutuhan dan kesempurnaan Islam yang mencakup orang baik yang menjalankan kebijakan dan aturan yang baik, adalah sesuatu yang amat penting. Hal ini tidak hanya berlaku bagi pemimpin yang memimpin saja. Tapi juga bagi kita sebagai rakyat yang dipimpin, apakah punya andil untuk mendukung dan ikut melanggengkan tatanan maksiyat tadi yang tidak berdasarkan segenap ketentuan dan syariahNya. Karena bagaimana pun juga, tidak mungkin ada sebuah kebijakan dan aturan bisa berjalan, tanpa ada dukungan dan persetujuan penuh dari masyarakat. Mengapa umat saat ini sengsara? Karena kita memiliki pemimpin (yang sekalipun kapasitas pribadinya baik), yang menjalankan kebijakan yang tidak baik. Mengapa bisa terjadi? Karena kita sendirilah yang mengangkat pemimpin itu. Dan ketika dia memberlakukan tata kehidupan yang buruk, kita jugalah yang mengamini dan mendukungnya.

Oleh karena itu, Islam tidak hanya berbicara masalah wajibnya memiliki dan mengangkat pemimpin, tetapi juga wajibnya kita memastikan bahwa pemimpin tersebut akan melaksanakan aturan dan kebijakan yang sesuai dengan apa-apa yang diturunkan Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (4:59)

Ayat ini tidak hanya berbicara tentang wajibnya taat (dan mengangkat) seorang pemimpin, tapi ayat ini juga berbicara tentang pedoman atau aturan yang akan diberlakukan, yaitu Quran dan Sunnah. Yang terindikasi dari perkataan: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah kepada (pedoman atau aturan) Allah dan RasulNya”. Bukan kembalilah kepada suara terbanyak, kepada musyawarah dan mufakat, kepada prinsip-prinsip demokrasi, HAM, atau isme dan pedoman selain Syariah Islam yang bersumber dari Quran dan Sunnah.

Indikasi yang lain adalah pada ayat di atas kata “taatilah” hanya diulang dua kali untuk Allah dan Rasul, yaitu “ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya)”. Kata tersebut tidak disandingkan kepada ulil amri atau pemimpin. Karena ketaatan kepada Allah dan Rasul bersifat mutlak, sedangkan ketaatan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak. Artinya kita hanya akan taat kepada pemimpin selama pemimpin tersebut taat kepada Allah dan RasulNya. Bukankah Baginda Rasulullah SAW telah menjelaskan dalam sabdanya: La thaata limakhluuqin fii ma’shiyatil khaaliq. Tidak boleh ditaati seorang makhluk -siapapun dia, termasuk pemimpin- ketika berbuat maksiat kepada Sang Khalik.

Dan bukankah prinsip ini juga sejalan dengan Piagam Madiah yang menjadi konstitusi yang berlaku di Madinah ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, di salah satu pasalnya yang masyhur menjelaskan bahwa: “Jika terjadi perselisihan maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya”. Artinya sekalipun masyarakat madinah saat itu plural, terdiri dari banyak etnis dan agama, tetap pedoman dan aturannya merujuk kepada ketentuan Allah dan Rasulnya, bukan atas dasar kesepakatan bersama atau pedoman umum lainnya.

Keutuhan dan kesempurnaan Islam yang terangkum dalam prinsip orang baik yang menjalankan aturan yang baik, juga tercermin dalam sebuah pesan ketika Baginda Rasulullah SAW mengangkat salah seorang sahabat bernama Muadz bin Jabbal sebagai wali (gubernur) di Yaman: “Bima tahkum? Bi kitabillah. Fain lam tajid? Fabisunnat al-rasul. Fain lam tajid? Ajtahidu bil-ra’yi.” Artinya: Dengan apa engkau nanti berhukum (menjalankan kebijakanmu sebagai pemimpin)? Dengan Kitab Allah. Jika engkau tidak menemuinya? Dengan Sunnah Rasul. Dan jika engkau masih tidak menemuinya? Aku akan berijtihad dengan pendapatku. Kemudian Rasul memuji Muadz. Melalui peristiwa ini dapat dimengerti bahwa Rasul ketika akan memilih seorang pemimpin, beliau tidak hanya memastikan memilih orang yang alim dan amanah (semua sahabat insya Allah alim dan amanah). Tetapi beliau juga memastikan bahwa  orang tersebut akan menjalankan kebijakan berdasarkan Quran dan Sunnah. Pertanyaannya, jika seandainya Muadz menjawab dengan salah dan akan menjalankan hukum selain Hukum Syariah; Quran dan Sunnah, apakah Rasul akan memilihnya sebagai pemimpin? Jelas tidak. Inilah sesungguhnya tuntunan Rasul yang harus kita ikuti.

Ada sebahagian orang yang mengatakan akan terjadi sebuah bencana (dharar) yang besar, ketika kita tidak memilih dan mengangkat pemimpin yang baik. Yang lebih tepat sesungguhnya adalah akan terjadi sebuah bencana besar ketika kita tidak mengamalkan syariah secara kaffah dan sempurna. Salah satu diantaranya adalah mengangkat pemimpin yang mulia, yang akan menjalankan kebijakan dan aturan yang mulia pula. Seharusnya jangan hanya dikatakan haram tidak mengangkat pemimpin, tapi seharusnya haram mengangkat pemimpin yang jelas-jelas akan mengabaikan hukum Quran dan Sunnah. Jika kita ikut mengangkat pemimpin (sekalipun baik) tapi menjalankan kebijakan yang buruk, berarti kita punya andil dan mendukung dan melanggengkan tatanan kehidupan yang zhalim dan tidak diberkahi Allah ini. Apakah kita rela ketika memilih dan mengangkat pemimpin, lalu pemimpin tersebut melegalkan riba, privatisasi SDA dan membiarkan pornografi dan pornoaksi merajalela? Bukankah ini artinya kita juga punya andil terhadap tatanan yang zhalim tersebut? Bukankah ini artinya kita ambil bagian dalam melanggengkan kemaksiyatan yang sangat besar? Bukankah ini dharar yang jauh lebih besar dan dahsyat? Jika kita berani melakukannya, hujjah apa yang akan kita kemukakan di hadapan mahkamahNya kelak di Hari Akhir? Apakah belum sampai kepada kita peringatanNya:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. ” (5:2)

Dan ada pula sebahagian orang yang mengatakan bahwa mereka yang tidak ikut dalam perhelatan besar  memilih pemimpin adalah orang-orang yang apatis, menyerah, acuh tak acuh dan tidak peduli terhadap nasib negeri ini. Kenyataannya, bagaimana mungkin disebut apatis, jika pilihan kita nantinya justru akan lebih menjerumuskan nasib negeri ini ke dalam jurang kesengsaraan lebih dalam dan dalam lagi, karena menyalahi perintah-perintah Nya? Ketika pilihan yang tersedia hanya akan mengabaikan segenap hukum dan syariahNya, maka ketika kita memilih untuk tidak memilih, sejatinya juga adalah sebuah pilihan. Bahkan sebuah pilihan terbaik, karena dengan pilihan itu kita justru akan menyelamatkan nasib negeri ini. Lalu bagaimana mungkin sikap ini dinilai menyerah dan tidak peduli? Kalau kita senantiasa bergiat dalam gelanggang amar makruf nahi munkar menunaikan perintahNya. Jika kita juga selalu aktif membina, membimbing dan menggerakkan masyarakat secara langsung. Untuk kemudian berjuang bersama mereka dan memimpin mereka menuju perubahan masyarakat yang lebih baik dan Islami, secara damai. Dan bukankah sejarah telah membuktikan, bahwa perubahan besar yang mendasar hanya akan terjadi dengan sebuah gerakan yang bertumpu pada kesadaran dan perjuangan masyarakat. Tidak hanya pergeseran kekuasaan di tingkat elit yang parsial dan situasional saja. Sejarah menunjukkan, mulai dari perjuangan Baginda Rasulullah Muhammad SAW bersama kaum muslimin yang berhasil mendirikan negara di Madinah. Sampai jatuhnya para raja, penguasa dan para tiran yang lalim dalam setiap babak sejarah, oleh sebuah gelora perjuangan yang didukung oleh segenap elemen masyarakat. Oleh karena itu, sesungguhnya sifat-sifat apatis, tak peduli, dan menyerah tadi lebih pantas disematkan kepada orang-orang yang tidak melakukan apa pun.

Sekali lagi, keutuhan dan kesempurnaan Islam baru akan terpancar ketika diamalkan secara kaffah, dalam bingkai orang yang baik (taat beribadah dan berahlak karimah), yang menjalankan dan mendukung aturan dan tatanan yang baik pula (muamalah Islami dalam berbagai aspek kehidupan). Marilah kita segera bergerak dan berjuang bersama, untuk mewujudkan keutuhan dan kesempurnaan Islam tersebut, serta menebarkan rahmatnya ke seluruh dunia.

Tulisan Terkait:

Sedjak satoe maret 2009

  • 81.573 hits