You are currently browsing the category archive for the ‘Refleksi’ category.

Ramadhan akan segera berakhir. Besok atau lusa kita akan merayakan hari kemenangan, Iedul Fitri. Seiring dengan berakhirnya Ramadhan, berakhir pula lah semua suka cita dan kegembiraaan ala Ramadhan. Tidak ada lagi ritual sahur setiap hari yang hangat, saat-saat berbuka yang membahagiakan. Berbagi dan berderma kepada sesama. Hitungan pahala pun akan kembali normal, tidak ada bonus dan multiplikasi pahala ala Ramadhan.

Iedul Fitri adalah hari kemenangan. Tapi tunggu dulu, tidak semua dari peserta Ramadhan menjadi pemenang bukan? Hanya mereka yang berjuang, berlomba dengan fair, dan mencapai garis finish, yang akan menjadi pemenang sejati. Sedangkan mereka yang tidak serius berlomba, mereka yang tidak berjuang dengan sabar dan tekun, tidak akan memperoleh piala dan pahala Ramadhan, bahkan mereka tidak dapat apa pun, kecuali sekedar rasa lapar dan haus saja. Rasulullah bersabda:

“Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak ada yang mereka dapatkan dari puasa mereka, kecuali rasa lapar dan haus belaka.”

Lalu apa yang membedakan para pemenang dan pecundang Ramadhan tadi? Mereka yang menjadi pemenang berhasil mempertahankan, bahkan meningkatkan kedekatan dan ketaatan kepada Allah, yang telah ditempa dan digembleng begitu rupa selama Ramadhan. Mereka berhasil meraih tujuan puasa, melewati garis finish target puasa, la’alakum tattakun, supaya kalian bertakwa, supaya kalian meningkat kedekatan dan ketaatannya di hadapan Allah. Dan bukankah secara harfiah arti syawwal adalah meningkat? Renungkan pula nasihat para ulama dalam gubahan syair berikut:

“Bukanlah orang yang berhari raya ied itu orang yang pakaiannya serba baru, akan tetapi orang yang berhari raya ied adalah orang yang ketaatannya bertambah.”

Siapakah para pemenang Ramadhan itu?

Mereka-mereka yang tetap antusias beribadah, sekalipun bukan bulan Ramadhan, mereka itulah yang insya Allah menjadi pemenang Ramadhan.

Mereka-mereka yang tetap meramaikan dan memakmurkan masjid, ketika banyak orang meninggalkan masjid setelah Ramadhan, mereka itulah yang insya Allah menjadi pemenang Ramadhan.

Mereka-mereka yang tetap berusaha bangun di malam hari dan bersimpuh menyembah Tuhannya, memohon ampunan dan petunjuk-Nya, dikala banyak orang tidur terlelap, mereka itulah yang insya Allah menjadi pemenang Ramadhan.

Mereka-mereka yang terus mengkaji dan mengajarkan Al-Quran, bahkan berusaha merealisasikan kandungannya dalam kehidupan nyata, mereka itulah yang insya Allah menjadi pemenang Ramadhan.

Mereka-mereka yang terus berderma, saling berbagi kepada sesama, sekalipun bukan bulan Ramadhan. Karena kesadaran bahwa harta yang didermakan itulah yang menjadi harta mereka sesungguhnya, abadi selamanya pahalanya, mereka itulah yang insya Allah menjadi pemenang Ramadhan.

Mereka-mereka yang berani mengatakan Al-Haq (kebenaran), dalam rangka amar makruf nahi munkar dihadapan penguasa yang lalim, mereka itulah yang insya Allah menjadi pemenang Ramadhan.

Mereka-mereka yang terus menyerukan persatuan umat dalam naungan khilafah, dalam rangka menjawab perintah-Nya, wa’tashimu bihablillahi jamian wa la tafarraqu, dan berpegang teguhlah kalian semua pada tali Allah, dan janganlah bercerai berai, mereka itulah yang insya Allah menjadi pemenang Ramadhan.

Sungguh tidak ada yang lebih ironis dari 86 kali Ramadhan telah berlalu semenjak runtuhnya khilafah, selama itu pula umat yang Tuhannya satu, Nabinya satu, Kitabnya satu, Kiblatnya satu, namun pemimpinnya berbilang bukan kepalang. Padahal ketika safar (melakukan perjalanan), Nabi memerintahkan fa amiru ahadakum, angkatlah satu pemimpin yang akan mengurusi keperluan kalian selama safar. Lalu mengapa dalam urusan yang lebih besar dari itu, ekonomi, politik, sosial, hukum, pendidikan, militer, kita mengangkat pemimpin yang berbilang jumlahnya? Bahkan antar pemimpin itu tidak jarang saling bermusuhan satu dengan yang lain.

Bagi sebagian orang Ramadhan akan berakhir, akan tetapi sesungguhnya di situlah semuanya berawal. Sebuah titik balik menuju kegemilangan dalam ranah personal sekaligus sosial-politik. Bukankah kemenangan bersejarah perang Badar terjadi pada bulan Ramadhan? Dan konon negeri ini juga merdeka pada bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan memang akan segera berakhir. Tapi spirit Ramadhan akan terus hidup selamanya.

Selamat Iedul Fitri semuanya, mohon maaf lahir dan batin.

[disarikan dari acara Visi Ramadhan di Trijaya FM Yogyakarta 97.00 FM, Sabtu 19 Sept 09, jam 16:30]

Pernah lihat iklan Chil-Kid dan Chil-School? Yang lirik lagunya “Aku bisa aku pasti bisa…”? Anak saya pasti dengan riangnya bernyanyi menirukan liriknya ketika melihat iklan itu. Ternyata tidak hanya anak saya (dan saya). Ketika tadi pagi setelah mengantar anak ke sekolah, saya berpapasan dengan sekelompok anak berseragam SD bernyanyi riang “Aku bisa aku pasti bisa…”. Nampaknya iklan ini berhasil menjadi meme karena jingle song-nya yang sederhana, dan tentu, inspiratif.

Iklan tersebut menceritakan beberapa kisah anak kecil yang memiliki cita-cita tinggi dan mulia. Ada seorang anak yang melihat cerobong asap memuntahkan asap polusi tebal, lalu anak itu meniup mainan kincir anginnya yang kecil, seolah berusaha melenyapkan asap hitam jahat yang mencemari udara itu. Tentu ia tidak berhasil melakukannya. Namun ketika ia dewasa, peristiwa kincir angin vs. cerobong asap jahat somehow menginspirasinya untuk mengembangkan green energy. Berubahlah pabrik-pabrik yang menyemburkan polusi kotor menjadi ladang-ladang wind energy. Ada juga kisah seorang anak lain yang menjadi arsitek dan pecinta lingkungan.

Tentu iklan seperti ini bagai setetes embun di tengah iklan-iklan dan tayangan-tayangan slapstick (sundul kepala, jambak rambut, ini so go od, ini so ni ce) yang bertaburan di TV kita. Iklan yang tidak pernah melupakan setiap detik durasinya agar selalu menanamkan brand produknya di benak pemirsa. Bahkan dengan cara menyuguhkan tayangan-tayangan yang konyol dan kasar, serta sangat jauh dari sifat mendidik dan mengilhami kebaikan. Bandingkan dengan iklan Chil-Kid tadi, yang hanya menampilkan brand produknya pada detik-detik terakhir (awalnya saya menduga iklan layanan masyarakat).

Saya jadi teringat dengan sebuah buku yang berjudul Spiritual Capital, karya Danah Zohar dan Ian Marshal, yang menjelaskan setiap perusahaan (multinasional) bisa mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi dan bermakna, daripada sekedar mencari untung dengan menghalalkan segala cara. Bahkan dalam sebuah riset (yang dituangkan dalam buku fenomenal Built to Last), James Collins dan Jerry Porras menunjukkan perusahaan-perusahaan yang memiliki values (istilah mereka core ideology) yang mulia, adalah perusahaan-perusahaan yang tidak hanya meraup untung besar, tapi juga bertahan lama.

Pernah lihat Valkyrie? Film true story yang memiliki tag line “Many Saw Evil. They Dared to Stop It” ini berkisah tentang upaya para perwira tinggi reich Jerman yang berkomplot memberontak rencana jahat Hiltler. Diceritakan bagaimana perjuangan para perwira tinggi yang mengikuti kata hati mereka, tepat di tengah jantung hirarki militer fasis Hitler yang meyakini komando setingkat firman Tuhan.

Heroik? Dramatisasi Hollywood? Tidak juga kalau kita mengetahui saat ini tidak sedikit tentara dan perwira yang berani resist menolak rencana “jahat” pemimpin mereka. Salah satunya adalah gerakan yang bernama www.couragetoresist.org, yang memobilisasi dukungan kepada tentara yang menolak kebijakan AS dalam perang ala “Hiltler” seperti Irak dan Afghanistan.

courage-to-resist

Dalam salah satu pernyataan tertulisnya mereka -para resisters– menjelaskan alasannya:

There is no way I will deploy to Afghanistan. The occupation is immoral and unjust. It does not make the American People any safer. It has the opposite effect (Victor Agosto).

Tentunya tidak mudah melawan kebijakan pimpinan, terlebih dalam tradisi militer. Apalagi ketika AS memutuskan untuk tetap meneruskan operasi militer di Irak dan Afganistan, dan menolak penutupan tahanan Guantanamo yang kejam itu. Seperti yang dilansir oleh VOA News 22 Mei berikut:

Senat Amerika telah menyetujui 91,3 milyar dolar rancangan pengeluaran yang akan membiayai operasi militer di Afghanistan dan Irak, tetapi menolak dana untuk menutup pusat tahanan Teluk Guantanamo.

Salut untuk para resisters! Tiba-tiba saya teringat salah satu cuplikan di Valkyrie: “When others follow orders, they follow their conscience”. Sebagai militer mereka berani take risk dan resist, lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai sipil? Mereka yang di front line sudah menunjukan courage mereka, bagaimana dengan kita?

Sembari menulis artikel ini, saya masih bisa mendengar bunyi sirine meraung-raung, diiringi oleh suara galak polisi berteriak-teriak (dengan pengeras suara yang terpasang di atap mobil patrolinya): “Minggir! Minggir! Merapat ke tepi! Merapat ke tepi!” Para pengendara motor dan mobil dibuat kocar-kacir menepi kelimpungan. Orang-orang memanjat di tembok-tembok celingukan, penasaran ingin tahu dewa apa gerangan yang bakal lewat. Dari kejauhan, melaju segerombolan mobil mewah hitam mengkilat, diiringi oleh mobil dan motor patroli berkecepatan tinggi yang kelihatannya siap menabrak apa pun yang menghalangi mereka.

Saya yang kebetulan berada tidak jauh dari lokasi, bertanya kepada salah satu polisi, “RI 2”, jawabnya singkat. Kata polisi itu sebelumnya beliau dari Pasar Beringharjo dan sekarang menuju ke Asrama Haji di dekat Monumen Jogja Kembali. Jam saya saat itu menunjukkan sekitar pukul 16:30.

Beringharjo2

Pasar Beringharjo? Tiba-tiba saya teringat kepada jargon pemimpin yang welas asih kepada rakyat kecil. Tiba-tiba saya juga teringat kepada Megawati yang dulu tahun 2004 ketika maju lagi menjadi capres, mengadakan acara makan malam di warung lesehan Malioboro dan paginya sarapan dengan para pedagang kecil di Beringharjo. Tiba-tiba saya juga teringat kepada Wiranto yang beberapa waktu lalu berdemonstrasi memakan nasi aking yang katanya sangat tidak enak, untuk menunjukkan pentingnya empati dan nurani kepada rakyat kecil. Tiba-tiba saya merasa muak. Muak ketika rakyat kecil hanya dijadikan simbol untuk meraih jenjang kekuasaan. Muak seperti halnya agama dijadikan simbol untuk memoles kekuasaan (ingat shalawat Badar pada deklarasi SBY Berbudi?).

Saya sungguh heran, mengapa semua bentuk simbolisme yang memuakkan ini terus menjadi tren? Mengapa basa-basi marketing politik dan strategi ala window dressing basi ini terus diulang-ulang? Apakah para politisi itu tidak menyadari tingkah polahnya telah menyerupai dunia sinetron yang pathetic dan ridiculous itu? Apakah mereka mengira, kita rakyat biasa sedemikian bodohnya tidak bisa menilai tindakan mereka? Apakah mereka mengira, kita tidak bisa membedakan mana tindakan yang hanya sebatas simbol dan basa-basi palsu, mana tindakan yang muncul dari laku keikhlasan dan pengorbanan yang mengakar dalam? Yah, kecuali memang kita sudah tersihir oleh tayangan sinetron yang pathetic dan ridiculous itu, serta meyakininya sebagai sebuah realitas yang harus dimaklumi.

Sebagai perbandingan, saya akan menunjukkan dua kisah dalam sejarah yang mudah-mudahan bisa mengilhami arti dan laku pemimpin sejati. Pemimpin yang memaknai kepemimpinan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Pemimpin yang mau lapar duluan tapi kenyang belakangan. Pemimpin yang mau berkorban ala prinsip dan tradisi Kapten Backdraft: “First In, Last Out”, yang mengilhami mereka untuk menjadi yang pertama maju mendobrak api yang berkobar-kobar berusaha menyelamatkan nyawa.

Pemimpin yang tidak butuh simbol dan basa-basi politik untuk mendongkrak popularitasnya, yang hanya sok akrab dengan rakyat kecil pas kampanye saja. Inilah kisah dua pemimpin, kisah dua Khalifah pewaris Nabi, yang sekalipun terpisah ruang dan waktu; Madinah abad ke 7 M dan “Beringharjo” abad ke 20 M, tetapi memiliki ruh dan semangat yang sama. Yang dari Madinah bergelar: Khalifah Amirul Mukminin. Sedangkan yang dari “Beringharjo” bergelar: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo, Khalifatullah Ingkang Kaping Songo.

Madinah, abad ke-7 M. Umar bin Khaththab adalah sosok peronda nomor satu. Sementara orang-orang di ibu kota kekhalifahan terlelap dalam tidur sedang dirinya tidak, orang-orang kenyang sedang dirinya tidak, orang-orang santai sedang dirinya tidak. Pada suatu malam, ketika menyusuri lorong-lorong kota Madinah, tiba-tiba ia melihat seorang ibu berada di dalam rumahnya bersama beberapa anak kecil yang terus menangis mengelilingi sang ibu. Di sudut lain, tampak sebuah panci berisi air diletakkan di atas perapian. Umar kemudian mendekati pintu dan berkata,

“Wahai hamba Allah, kenapa anak-anak ini menangis?”

“Mereka menangis karena lapar,” sahut wanita itu.

“Lalu, untuk apa panci di atas api itu?”

“Aku mengisinya dengan air. Ini dia. Aku mengalihkan perhatian mereka dengan air itu sampai mereka tertidur. Aku mengelabui mereka supaya mengira di dalam panci itu ada sesuatu yang dimasak.”

Mendengar itu Umar menangis. Ia bergegas mendatangi tempat penyimpanan kas negara (baytul mâl). Ia mengambil sebuah karung, kemudian mengisinya dengan terigu, minyak, mentega, kurma kering, baju dan uang. Ia mengisi karung itu sampai penuh. Ia berkata pada ajudannya,

“Wahai ‘Aslam, angkat karung ini ke atas pundakku!”

“Wahai Amirul Mukminin, aku saja yang mengangkatnya,” kata ‘Aslam.

“Tidak, ini bukan kewajibanmu, wahai ‘Aslam. Sebab, aku yang akan bertanggung jawab di akhirat nanti.”

Umar membawa karung itu dan pergi menuju rumah wanita tersebut. Ia kemudian mengambil panci, mengisinya dengan terigu, sedikit minyak dan kurma kering. Ia mengaduknya, dan meniup api yang ada di bawah panci. ‘Aslam berkata,

“Aku melihat asap keluar dari sela-sela janggut Umar, dan ia memasak makanan itu sampai selesai. Ia lalu menciduknya, dan memberi makan anak-anak itu sampai mereka kenyang.”

Yogyakarta, abad ke-20 M. Sri Sultan Hamengku Buwono IX ini kegemarannya naik mobil sendiri. Beliau sering mengendarai mobil sendiri dari Yogya-Jakarta kadang-kadang ke Bandung. Dulu ketika Sri Sultan sedang berjalan-jalan dengan mobilnya ia dihentikan oleh seorang perempuan separuh umur. Ibu-ibu itu mengira Sri Sultan adalah sopir angkutan sayur. Mobil berhenti.

“Ada apa Bu…?” Tanya Sri Sultan.

“Ini Pak Sopir tolong naikkan karung-karung sayur saya mau antar barang ini ke Pasar Beringharjo” Perintah Ibu itu tegas.

Sri Sultan yang mengenakan kaca mata hitam tersenyum dan turun ia pun mengangkut karung-karung sayur itu. Setelah karung-karung sayur dinaikkan, Ibu itu juga naik ke dalam mobil dan duduk di belakang.

Setelah sampai depan pasar Beringharjo Sri Sultan turun dan mengangkut karung-karung itu sampai ke dalam pasar, si Ibu itu berjalan di depannya. Seorang mantri polisi memperhatikan dengan cermat kejadian itu. Setelah karung-karung sayur ditaruh ditempatnya, Ibu itu bertanya,

“Berapa ongkosnya, Pak Sopir?”

“Wah… Ndak usah Bu.” Jawab Sri Sultan.

“Walaah… Pak Sopir… Pak Sopir kayak ndak butuh uang saja?” Sergah Ibu itu lagi.

“Sudah tidak Bu terima kasih.” Sri Sultan kembali menolak sopan.

“Lho, kurang tho… Biasanya saya ngasihnya juga segini?” kata Ibu itu yang mengira sopir itu menolak uangnya karena kecewa pemberiannya kurang.

“Ndak apa-apa Bu, saya cuma membantu…” Sultan tetap menolak sopan.

“Sudah merasa kaya tho Pak Sopir? Ndak mau terima uang?” kata si Ibu sinis. Sri Sultan tersenyum dan kemudian pamit keluar pasar.

Saat Sri Sultan pergi si Ibu masih saja ngedumel,

“Dasar Sopir gemblung dikasih duit ndak mau!” Ujar Ibu itu sambil memberesi karung-karung sayurannya…

Mantri Polisi yang sedari tadi mengamati peristiwa itu mendekati Ibu pedagang sayur itu.

“Bu…tadi Ibu tahu bicara dengan siapa?”

“Dengan siapa? Ya dengan Pak Sopir… Piye tho sampeyan iki (gimana sih kamu)!” Jawab si Ibu kesal.

“Ibu tahu, tadi Ibu bicara kaliyan sing nduwe ringin kembar kuwi… (tadi ibu bicara dengan yang punya beringin kembar itu)” Kata Mantri Polisi itu seraya menunjuk ke arah beringin kembar di depan Keraton Yogya.

Sang Ibu tadi langsung jatuh pingsan di tempat.

Suara raungan sirine dan bentakan kasar polisi tadi masih terngiang-ngiang di kepala saya. Begitu pula dengan kisah dua Khalifah Madinah dan “Beringharjo” di atas. Sungguh saya merindukan hadirnya pemimpin sejati seperti Umar bin Khaththab dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (yang juga berani memimpin di medan laga pada serangan umum satoe maret 1949 yang berhasil usir penjajah).

Sumber berita:
http://achmadfaisol.blogspot.com/2009/03/apa-kita-terjangkit-penyakit-sombong-4.html
http://orgawam.wordpress.com/2007/09/24/sri-sultan-hamengku-buwono-ix/


Apa agama diri Anda? Ketika Anda menjawab Islam, ini berarti Anda memiliki cara pandang dan cara hidup khas seorang muslim, yang membedakan Anda dengan orang lain yang memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda dengan Anda. Dengan kata lain Anda memiliki kepribadian Islam. Ekspresi pemikiran, perasaan dan tindakan Anda terwarnai oleh Islam. Anda memiliki pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan yang khas Islam.


Sebagai contoh Anda meyakini keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta, juga keberadaan kehidupan setelah kehidupan di dunia ini. Anda akan memahami makna kebahagiaan adalah memperoleh ridha dan kerelaan Allah Sang Pencipta. Konsekuensinya Anda menyelaraskan setiap pemikiran, perasaan dan tindakan Anda agar senantiasa sesuai dengan kehendak Allah Sang Pencipta. Anda akan melaksanakan shalat, puasa, zakat, menutup aurat, tidak berbohong, tidak zhalim, berakhlak mulia dan lain sebagainya. Semuanya Anda lakukan dengan penuh kesadaran dan pemaknaan menjalani misi hidup Anda; menyembah dan beribadah kepada Allah SWT.


Sedangkan orang lain yang tidak menyembah Allah SWT, tetapi menyembah kekayaan, kedudukan dan ketenaran, tentu akan memiliki cara pandang dan cara hidup yang sangat berbeda dengan seorang muslim. Ia akan memahami makna kebahagiaan adalah memperoleh kesenangan materi sebanyak-banyaknya. Dan ia akan melakukan apa pun untuk memperolehnya, sekalipun harus melakukan hal yang tercela dan merugikan orang lain.


Apa agama diri Anda? Ini adalah sebuah pertanyaan yang lazim dan kita biasanya tidak kesulitan untuk menjawabnya. Tapi coba Anda jawab pertanyaan yang hampir sama di bawah ini:


Apa agama negeri Anda? Ya, apa agama negeri Anda? Ini bukan pertanyaan akal-akalan. Sebagaimana diri, negeri juga memiliki agama. Karena sebagaimana diri, negeri juga memiliki keyakinan, sekumpulan doktrin, dan perilaku yang tercermin dalam aturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakannya.


Sebagaimana diri, negeri juga memiliki pemikiran dan perasaan (dalam lingkup kolektif), serta tindakan atau kebiasaan (dalam lingkup tata sosial-politik) khas yang mengacu kepada pandangan hidup tertentu. Sebagai contoh, jika agama negeri Anda adalah Islam, maka negeri tersebut memiliki cara pandang dan cara hidup (pada lingkup sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya) yang khas Islam. Dimana norma masyarakat, keyakinan kolektifnya, serta mainstream-nya kental dan sarat dengan warna ketaatan dan ketundukan kepada Allah SWT. Sistem politiknya berfalsafahkan pelayanan kepada umat, bukan sebagai instrumen bagi kepentingan bisnis seperti kapitalisme sekarang. Sistem ekonominya menciptakan kesejahteraan hakiki, karena tidak memberikan pihak korporasi kebebasan mutlak untuk mengeksploitasi SDA yang berlimpah-ruah. Sistem pendidikannya mampu mengantarkan umat sukses dunia-akhirat, tidak seperti sekarang pendidikan berkualitas hanya bisa diakses oleh mereka yang berduit saja, sementara yang tidak harus siap menerima kenyataan pahit menjadi buruh murah. Sistem hukumnya mampu mengamankan dan menentramkan masyarakat, tidak seperti sekarang yang tebang pilih dan sarat mafia peradilan. Atmosfer yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sarat dengan nuansa ibadah kepada Allah Sang Pencipta. Suasana yang dalam alam kehidupan kapitalistik dan sekuleristik seperti saat ini hanya bisa dirasakan di dalam masjid atau ketika bersujud di atas sajadah saja. Seharusnya sajadah tadi panjang terbentang jauh di luar tempat sholat kita, dimana kita kita juga bersujud menundukkan fikiran, perasaan dan tindakan kita kepada Allah SWT dalam berpolitik, berekonomi, berbudaya, dan lain-lain.


Peliknya permasalahan kita saat ini berawal dari difahaminya Islam hanya sebatas agama diri semata, bukan agama negeri. Atau Islam sebagai solusi personal saja, bukan solusi sosial-politik. Sehingga rahmat Islam hanya terekspose pada lingkup pribadi saja, tapi tidak pada lingkup dan horison yang lebih luas. Maraknya tren training dan buku-buku emosial spiritual belakangan ini jelas harus disyukuri, tapi jika berhenti pada lingkup personal atau institusional saja hanya akan memperkeruh dan memperunyam masalah. Harus diperluas sampai kepada wacana dan aksi bertajuk politik spiritual agar kita terbebaskan dari belenggu penderitaan kapitalisme global saat ini.

Saudaraku…
Tak terasa 61 tahun sudah bangsa ini meraih kemerdekaan, 61 tahun sudah bangsa ini lepas dari cengkraman penjajah, 61 tahun sudah bangsa ini menapaki alam kemerdekaan. Sungguh, betapa besar jasa dan upaya para pahlawan dan pejuang kita, yang tidak mengenal lelah dan letih, siang dan malam, berteman duka dan lara, berjuang sampai titik darah penghabisan, mengusir para penjajah asing dari negeri kita tercinta. Sehingga sampai pada hari ini, detik ini, kita bisa menikmati indahnya alam kemerdekaan. Pada hari ini, kita bisa tertawa bahagia, kita bisa bercanda ceria, kita bisa bekerja dan berkarya. Terbebaskan dari ketakutan dan kekhawatiran. Sungguh tak terbayangkan, jika hari ini, detik ini, kita masih harus bersusah-payah bahu-membahu berjuang melawan penjajah asing. Jika hari ini, kita masih harus memanggul senjata dan mencium bau bubuk mesiu. Jika hari ini, kita masih terpaksa tidur tak nyenyak, berteman suara dentuman bom bersahut-sahutan. Jika hari ini, kita masih harus dicekam kekhawatiran, apakah besok kita masih bisa hidup dan melihat mentari pagi?

Saudarku…
Sungguh kemerdekaan ini merupakan rahmat dan nikmat Allah yang tak ternilai harganya. Karena toh mudah bagi Allah untuk menimpakan bencana penjajahan kepada kita semua, sehingga kita belum bisa menikmati kemerdekaan seperti yang kita rasakan sekarang. Dan kenyataannya, atas kehendak-Nya masih ada bangsa-bangsa di dunia ini yang belum bisa mencicipi nikmat dan khidmat kemerdekaan seperti yang kita rasakan sekarang. Seperti saudara-saudara kita yang ada di Palestina misalnya, sejak 60 tahun silam sampai hari ini harus terus berjuang melawan penindasan dan penjajahan, mempertahankan harta, jiwa dan kehormatan mereka dari para penjajah Israel. Mereka harus rela hidup berkawan desingan peluru, letupan mortir, dan serpihan granat yang melesat ke sana ke mari. Mungkin kita jarang merenung dan bertanya, mengapa nasib kita yang di Indonesia jauh lebih baik dari mereka yang ada di Palestina? Tapi yakinlah, bahwa mereka pasti telah merenung dan bertanya, mengapa mereka dan bukan kita yang ada di Indonesia yang harus terus merasakan derita berkepanjangan ini? Yakinlah bahwa mereka terus memimpikan dan merindukan untuk dapat hidup seperti kehidupan yang kita nikmati saat ini. Merasakan anggunnya malam-malam berpurnama dan cerianya hari-hari bermentari. Yakinlah wahai saudaraku, bahwa sejuk dan segarnya udara kemerdekaan yang kita hirup sekarang, adalah rahmat dan nikmat Allah yang tak ternilai harganya…

Saudaraku…
Sungguh adalah perbuatan yang sangat nista jika kita mensia-siakan kemerdekaan ini. Dan lebih nista lagi jika kita tidak menjaga kemerdekaan ini, serta membiarkan para penjajah asing itu kembali lagi dan menjarah kehormatan dan kekayaan negeri kita tercinta. Mestinya kita bertanya, mengapa para penjajah asing itu dengan mudahnya dan relanya melepaskan tanah jajahannya setelah 350 tahun lamanya? Kita saja pasti merasa sulit melepaskan barang yang sudah kita miliki puluhan tahun, apalagi ratusan tahun? Bukankah ketamakan orang-orang yang tamak, dan kerakusan orang-orang yang rakus, selalu ada dari dulu, sekarang, dan di masa yang akan datang? Mungkin kita sudah mengamankan tanah kita dari penjajah, tapi sudahkan kita mengamankan kekayaan alam kita dari penjajah? Mungkin kita sudah mengusir keberadaan penjajah, tapi sudahkah kita mengusir budayanya dan ajarannya yang meracuni pikiran kita? Mungkinkah para penjajah itu mengecoh kita, dan dengan lihainya merubah strategi penjajahannya? Bukan hal yang mustahil penjajah asing itu kembali lagi, atau jangan-jangan mereka tidak pernah benar-benar pergi dan menghentikan penjajahannya atas negeri kita. Sebagian dari kita mungkin pernah mengajukan sebuah pertanyaan, apakah saat ini kita sudah merdeka? Saudaraku, pertanyaannya bukanlah apakah saat ini kita sudah merdeka. Tapi apakah kita pernah merdeka sebelumnya? Waspadalah, waspadalah, waspadalah!

Karena wahai saudaraku, jika kita benar-benar telah merdeka, dan para penjajah itu benar-benar telah pergi, mengapa hidup kita semakin hari semakin sulit? Mengapa BBM dari dulu sampai sekarang tidak pernah tidak naik? Mengapa hanya untuk menyekolahkan anak, di sekolah kita sendiri, yang dibangun di atas tanah-tanah kita sendiri, semakin tinggi semakin sulit melilit? Mengapa banyak orang yang lebih memilih menahan perih sakitnya di rumah, karena biaya berobat makin lama makin melangit? Jawablah saudaraku, mengapa banyak anak-anak balita mengidap malnutrisi dan kurang gizi. Mengapa kemiskinan tak juga kunjung terurusi. Mengapa kriminalitas kian marak tak tertangani. Mengapa upaya memberantas korupsi kian tak bernyali. Mengapa angka pengangguran terus naik tak terkendali. Mengapa hutang negara tak kunjung tertalangi. Mengapa semua derita ini kian tak terperi? Mengapa?

Padahal saudaraku…
Negeri kita bukanlah sebuah negeri di tengah padang pasir tandus tak berpenghuni. Juga bukan sebuah negeri berbatuan cadas yang tak bisa ditanami. Juga bukan sebuah negeri tanpa hutan tanpa tambang. Dan juga bukan sebuah negeri tanpa pulau dan lautan. Negeri kita adalah negeri yang kaya raya, bak zamrud di khatulistiwa, alamnya indah mempesona, penduduknya ramah berbudaya. Hutan hujan tropis membentang luas di Kalimantan, dikenal sebagai paru-paru dunia. Kekayaan tambang tembaga, emas, dan perak yang tertanam di bumi papua, merupakan yang terbesar di dunia. Ribuan pulau besar kecil bertebaran seantero nusantara, membentangkan garis pantai yang menyimpan potensi laut yang kaya raya. Tapi saudaraku, jutaan hektar hutan hujan tropis kini telah tergunduli. Kayu-kayunya dijarah dibawa lari entah kemana. Menghasilkan bencana banjir, longsor, dan kekeringan dimana-mana. Gunung-gunung di Papua dikeruk habis menjadi lembah, emasnya dibawa pergi ke Amerika, limbahnya dibiarkan meracuni manusia dan satwa di sana. Mereka para penjajah itu mengambil keuntungannya saja, dan meninggalkan racunnya kepada kita. Seperti yang terjadi pada kasus pencemaran PT. Freeport Indonesia di Papua, kasus pencemaran PT. Newmount di Minahasa, dan terakhir kasus lumpur panas PT. Lapindo Brantas di Sidoarjo. Sungguh tak terbayangkan, negeri indah kaya raya ini tidak bisa mengelola dan memanfaatkan kekayaannya. Bahkan untuk membangun negeri kita ini, sejak 61 tahun silam sampai sekarang, kita harus bergantung kepada utang luar negeri. Padahal negara-negara pemberi utang itu meminta kita untuk mengikuti kehendaknya dalam menentukan kebijakan negara, yang sering kali merugikan kita. Buruknya layanan negara dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umum, juga disebabkan karena tiap tahun anggaran negara ini terkuras untuk membayar utang beserta bunganya. Sungguh mengherankan, sampai hari ini negara kita masih terus-menerus mengandalkan utang, dan tidak pernah berfikir untuk mandiri, atau setidaknya mulai mengurangi ketergantungan kepada hutang, seperti Argentina misalnya. Setiap wajah pemimpin negara berganti, maka skenario pencairan utang baru pun dijalankan. Ibaratnya, negeri kita ini sebuah keluarga yang sekarat terjerat utang rentenir, tapi masih terus saja bergantung pada rentenir tadi untuk menyelamatkan diri.

Saudaraku…
Mungkin permasalahan pelik yang menimpa kita ini juga karena ulah kita sendiri. Karena kita tak peduli dengan keadaan sekitar kita. Acuh tak acuh dengan nasib bangsa kita sendiri. Mungkin sudah terlalu lama kita ini terbius dan terlelap, sehingga Allah harus menguncang-guncangkan bumi ini dengan gempa, agar nurani kita terbangun, kesadaran kita tergugah dan sikap welas asih kita terasah. Wahai saudaraku, apakah belum cukup dahsyat goncangan gempa 27 Mei yang lalu, untuk membuat kita terbangun dan tersadar? Apakah kita ingin Allah yang menggenggam alam semesta ini, memberikan goncangan yang jauh lebih dahsyat, agar kita terbangun dan tersadar, dan kembali ke jalan-Nya yang benar? Mungkin sudah terlalu lama kita ini tertidur dan terlena, sehingga Allah harus menyiramkan air laut tsunami ke wajah kita, agar terbelalakkan mata hati kita untuk melihat dan menjalani kebenaran. Wahai saudaraku, apakah belum cukup dahsyat gemuruh ombak tsunami aceh dan pangandaran yang lalu, untuk membuat kita terbangun dan tersadarkan diri. Apakah kita ingin Allah memberikan gelombang tsunami yang jauh lebih besar, agar kita terbangun dan tersadar, dan kembali ke jalan-Nya yang benar? Wahai saudaraku, hidup di dunia ini hanya satu kali. Kesempatan emas tidak datang dua kali. Dengan momentum kemerdekaan ini, marilah kita menata kehidupan pribadi, keluarga, serta masyarakat kita sebaik-baiknya. Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan dan meridhai semua urusan kita…

Sedjak satoe maret 2009

  • 81.573 hits