You are currently browsing the tag archive for the ‘kapitalisme’ tag.

Demo G20 Kamis, 2 April ini memakan korban satu tewas di London. Demo besar-besaran itu ditujukan untuk melawan kapitalisme dan globalisasi yang makin menjadi-jadi. Krisis finansial global, perang, kelaparan, pengangguran, bahkan suburnya aksi-aksi terorisme, merupakan dampak destruktif dari kapitalisme global. Seorang pakar ekonomi peraih Nobel, Joseph Stiglitz, yang dijuluki oleh majalah The Economist sebagai pahlawan gerakan antiglobalisasi, menulis dalam bukunya The Roaring Nineties:

Peristiwa 11 September 2001 mempertontonkan sisi yang lebih kelam lagi dari globalisasi. Kendati akar masalahnya kompleks, jelas bahwa keputusasaan dan tingginya tingkat pengangguran di sebagian besar belahaan dunia menjadi lahan subur bagi tumbuhnya terorisme.

Indonesia jelas tidak luput dari pengaruh negatif kapitalisme global ini, yang ditandai dengan masih tingginya angka kemiskinan, pengangguran, mahalnya pendidikan dan kesehatan, juga maraknya aksi-aksi teror yang juga terjadi di negeri kita. Ironisnya, menjelang pemilu besok tidak jelas bagaimana sikap politisi kita hadapi problem global ini. Padahal, di tempat lain genderang perang sudah mulai ditabuh. Kalau sudah seperti ini perubahan politik seperti apa yang bisa diharapkan kelak? Akankah pemilu yang habiskan dana puluhan trilyun itu hanya terbuang sia-sia?

Syahdan ada sebuah negeri yang selalu dilanda bencana banjir dahsyat. Para penduduk yang tertimpa bencana naas itu terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang mati tenggelam karena tidak memiliki ketrampilan berenang atau membuat rakit darurat. Kedua, mereka yang bisa bertahan hidup karena bisa berenang atau membuat rakit darurat. Tapi mereka gagal menemukan dan menghentikan penyebab utama banjir, karena terlalu sibuk menyelamatkan orang-orang disekitarnya. Akibatnya masih banyak korban berjatuhan ditelan gelombang banjir ganas. Ketiga, mereka yang bisa bertahan hidup dan berusaha menyelamatkan orang lain disekitarnya. Serta pada saat yang bersamaan mereka berusaha mencari dan menemukan penyebab utama banjir. Kelompok yang ketiga inilah yang akhirnya bisa menyelamatkan semua penduduk negeri tadi dari bencana banjir dahsyat.

Krisis multidimensi (ekonomi,sosial,politik dan budaya) yang tengah kita alami saat ini hampir sama dengan bencana banjir dahsyat tadi. Akibat bencana ini, manusia terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang gagal menyelamatkan dirinya sendiri karena tidak memiliki kecerdasan spiritual (SQ). Kedua, mereka yang berhasil menyelamatkan diri dan orang lain karena memiliki kecerdasan spiritual (SQ). Tapi karena tidak memiliki kecerdasan politik (PQ) mereka gagal menemukan penyebab utama bencana, sehingga bencana itu masih terus melanda negeri dan banyak orang jadi korban. Ketiga, mereka yang berhasil menyelamatkan diri dan orang lain karena memiliki kecerdasan spiritual (SQ). Dan karena memiliki kecerdasan politik (PQ) mereka berhasil menemukan dan menghentikan penyebab utama bencana. Kelompok ketiga inilah yang berhasil menyelamatkan negeri. Mudah-mudahan kita masuk yang ketiga, yaitu orang-orang dengan SQ dan PQ tinggi.

Tapi saat ini, masyarakat memahami dan memaknai sukses seperi kelompok manusia yang kedua. Mereka mematok keberhasilan sebatas dimensi personal, dan lalai terhadap problem-problem sosial-politik. Atau mereka beranggapan solusi personal mampu menyelesaikan problem-problem sosial-politik. Padahal kenyataannya tidak demikian. Inilah sebabnya mengapa sampai hari ini kita belum bisa selamat dari bencana kapitalisme. Dengan kata lain masyarakat kita hanya memiliki SQ tinggi, tapi PQ rendah.

Apa akibatnya jika SQ tinggi PQ rendah? Akibatnya masyarakat kita, terutama para pemimpinnya, akan menjalankan perannya sebagai operator politik. Yaitu pihak yang mengoperasikan atau menjalankan tata-sosial politik kapitalistik yang menyengsarakan umat manusia ini. Karena PQnya rendah, ia menerima sistem yang ada secarataken for granted, tanpa pernah mempertanyakan keabsahannya. Sebaliknya jika SQ tinggi dan PQ tinggi, masyarakat dan para pemimpinnya akan menjalankan perannya sebagaikreator politik. Yaitu pihak yang awalnya mempertanyakan keabsahan sistem yang selama ini dijalankan. Dan kemudian dengan dakwah membangun ulang tata sosial-politik yang ada menjadi lebih baik berdasarkan tujuan spiritual.

Lebih konkrit lagi, SQ tinggi dan PQ rendah memang bisa mencetak orang-orang yang profesional dan amanah, tapi profesional dan amanah sebagai operator dari sistem kapitalisme yang mencelakakan umat manusia. Sebagi contoh, akan menghasilkan para pemimpin yang amanah dan profesional dalam membuat kebijakan menaikkan BBM yang merugikan rakyat banyak. Atau menghasilkan para menteri yang amanah dan profesional dalam membuat kebijakan privatisasi SDA kita, sehingga asing menguasai kekayaan alam kita. Atau menghasilkan seorang direktur IMF yang dengan amanah dan profesional, bahkan dengan ikhlas, memberikan jebakan utang (debt trap)kepada negara-negara berkembang yang akhirnya membuat mereka sengsara. Atau menghasilkan seorang hakim yang dengan jujur, adil dan amanah memutuskan perkara berdasarkan hukum sekuler buatan manusia, bukan dari Allah Sang Pencipta, dan lain-lain.

Bagaimana solusinya? Seharusnya masyarakat lewat dakwah kita ajak bersama untuk meningkatkan SQ dan PQnya, atau PSQnya. Bagaimana tidak hanya menjadi operator politik tapi kreator politik. Tidak hanya menjadi aktor politik tapi director (sutradara) politik. Harusnya upaya untuk lepas dari bencana Kapitalisme ini menjadi agenda bersama, yang bisa menyatukan kita semua, dan tidak mempermasalahkan perbedaan-perbedaan kecil kita.

Hit Man: A contract killing (also contract murder or murder-for-hire) is a murder in which the killer is hired by another person for material reward, usually money. A person who carries out a contract killing is sometimes known as a contract killer or hit man.
(From Wikipedia encyclopedia)

John Perkins (penulis Confessions of an Economic Hit Man) mendefinisikan perannya selama lebih dari tiga dekade, sebagai seorang economic hit man (EHM). Sebuah profesi yang dibayar sangat tinggi oleh sebuah sistem yang ia sebut sebagai corporatocracy (koalisi antara pemerintah AS, lembaga-lembaga keuangan dunia, dan perusahaan-perusahaan multinasional AS). Tugas utamanya adalah melobi para pemimpin negara agar bersedia untuk menerima pinjaman luar negeri dalam jumlah yang sangat besar, sampai akhirnya mereka terjebak dalam debt web (jebakan hutang) atau sampai tidak mampu lagi untuk membayarnya.

Ketika ini terjadi, negara-negara penerima hutang tersebut diminta tunduk terhadap kepentingan-kepentingan AS, seperti pengendalian hak suara di PBB, pembangunan military base AS, atau akses terhadap sumber daya alam (minyak, tambang, dan gas alam). Ini adalah agenda politik luar negeri AS untuk melanggengkan hegemoninya.

Setelah negara yang ia lobi menyetujui pinjaman tersebut, tugasnya selanjutnya adalah memberikan proyek atau tender raksasa untuk membangun infrastruktur negara (pembangkit listrik, pelabuhan, airport, industri minyak, dll), sebagai skenario pembelanjaan hutang tadi, kepada korporasi-korporasi besar AS. Kita bisa membayangkan besarnya keuntungan yang diperoleh korporasi tersebut dengan memenangkan tender sebuah negara. Apalagi, baik perusahaan multinasional atau bank yang memberikan pinjaman, sebenarnya dimiliki oleh pihak yang sama. Ini artinya uang triliunan dolar yang dipinjamkan sebenarnya hanya berpindah dari rekening sebuah bank swasta di Washington, ke rekening sebuah bank perusahaan konstruksi di New York.

Bank tersebut mendapatkan keuntungan dari bunga hutang, sedangkan perusahaan konstruksi mendapatkan keuntungan dari proyek infrastruktur negara tersebut. Dan pemerintah AS juga mendapatkan keuntungan karena tidak ada satu dolar pun yang keluar dari AS. Ini adalah agenda ekonomi korporasi AS untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari negara-negara miskin. Bisa kita lihat, kepentingan politik dan korporasi AS bergabung menjadi satu. Amerika menang dan perusahaan-perusahaan dibelakangnya pun senang meraup untung besar.

Fenomena ini bukan barang baru, Robert McNamara yang menjabat direktur Bank Dunia (yang pernah bekerja sama dengan John Perkins), sebelumnya menjabat sebagai Mentri Pertahanan AS, dan sebelum itu ia menjabat sebagai direktur Ford Motor Company. Hal yang sama juga terjadi pada George Bush senior, sebagai pemilik Haliburton dan Bechtel yang memenangkan tender membangun Irak pasca perang kemarin. Konon, Menlu AS Condoliza Rice yang beberapa waktu lalu “berkunjung” di Jakarta, juga direktur berbagai perusahaan multinasional AS. John Perkins dalam perannya sebagai EHM, adalah orang atau “bidak” (istilah yang digunakannya sendiri) yang menjalankan kepentingan-kepentingan orang-orang tadi di lapangan, dan memastikan mereka terlayani dengan sebaik-baiknya.

Lalu apa yang terjadi jika para EHM ini gagal? Maka tanggung jawab berikutnya diserahkan kepada para Hit Man yang sesungguhnya, yaitu para agen CIA berdarah dingin, yang disebut oleh para EHM dengan sebutan the jackals (para serigala). Tugas mereka adalah melakukan apa pun yang diperlukan, mulai dari rekayasa politik atau bahkan pembunuhan, untuk memastikan kemenangan ada di pihak korporatokrasi AS. Seperti rekayasa politik untuk menggulingkan pemerintahan yang terjadi di Iran tahun 1953, dan pembuhunan kepala negara yang terjadi di Panama dan Ekuador, keduanya terjadi pada tahun 1981.

Lalu bagaimana jika para Hit Man CIA ini juga gagal? Pilihan terakhir jatuh kepada militer. Seperti yang dikatakan John Perkins dalam bukunya, AS akan mengirimkan ribuan pemudanya untuk membunuh atau dibunuh dalam sebuah invasi militer. Inilah yang terjadi di Afghanistan dan Irak belakangan ini. Dengan grand strategy ini, para EHM seperti Perkins dan CIA melancarkan aksinya di negara-negara seluruh dunia seperti Indonesia, Arab Saudi, Iran, Panama dan Ekuador.

Lalu apa artinya semua ini bagi kita? Mengapa kita harus peduli dengan isu-isu korporatokrasi, para EHM, dan kepentingan politik AS? Jawabans yang paling jelas dan bernas adalah, semuanya tadi akan mempengaruhi kehidupan Anda, keluarga, dan anak cucu yang Anda tinggalkan nantinya. Bahkan lebih luas lagi, semuanya tadi akan mempengaruhi kualitas kehidupan semua manusia dan keturunannya di planet ini. Sebab kesejahteraan dan kualitas kehidupan Anda dan keluarga Anda sangat ditentukan oleh bagaimana kehidupan ini ditata, diatur, dan dikelola.

Ketika tatanan kehidupan yang ada terbukti mampu menciptakan kesejahteraan, maka Anda dan keluarga Anda pun ikut merasakan kesejahteraan tersebut. Namun apabila sebaliknya tatanan kehidupan yang ada terbukti gagal menciptakan kesejahteraan, atau justru menciptakan kemiskinan sistemik, maka Anda dan keluarga Anda juga yang merasakan penderitaan tersebut. Kecuali Anda adalah segelintir orang-orang yang digaji tinggi untuk ikut berpartisipasi langsung atau tak langsung melanggengkan sistem yang zhalim ini (seperti para EHM), Anda harus peduli dan sadar dengan bagaimana sistem ini bekerja, serta apa pengaruhnya terhadap diri Anda.

Lebih jauh lagi, sebagai seorang muslim, Anda seharusnya mempertanyakan atas dasar asas dan paradigma apa sistem ini dibangun dan dijalankan. Apakah asas dan paradigma tersebut sesuai dengan Islam? Dan akhirnya jika sistem ini tidak berjalan di atas koridor yang semestinya, Anda harus membenahi dan merubah sistem tersebut. Inilah yang saya sebut sebagai kesadaran dan kecerdasan politik. Dan inilah yang menjadi alasan mengapa John Perkins nekat meresikokan hidupnya menulis buku yang sangat kontroversial ini.

Dalam bukunya, John Perkins mencoba meyakinkan pembacanya tentang bagaimana sistem korporatokrasi ini bekerja, dan yang lebih penting, dampak-dampak negatif dan destruktif yang dimunculkannya. Mulai dari penggundulan ribuan hektar hutan, punahnya spesies-spesies langka, sampai limbah-limbah beracun yang membunuh manusia dan satwa. Tidak hanya itu, sebagai seorang ekonom ahli, dengan fakta dan data ia menggambarkan bagaimana nasib negara-negara miskin (ia membahas Indonesia secara khusus) tidak menjadi lebih baik, justru jauh lebih buruk keadaannya, ketika negeri-negeri itu digadaikan oleh para EHM kepada korporatokrasi. Mulai dari meningkatnya kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan ekomomi.

Dan bagaimana para suku-suku asli, yang tanahnya dieksploitasi oleh perusahaan minyak Shell, berjuang membela hak-hak mereka kembali (seperti nasib suku Shuar dan Khicwa di Amazon). Dan apa yang diceritakan John Perkins di Amazon ternyata juga terjadi di Indonesia, bagaimana penduduk/suku-suku asli papua berjuang untuk mendapatkan hak-haknya kembali setelah puluhan tahun dieksploitasi oleh PT. Freeport. Serta kasus pencemaran oleh PT. Newmount di Minahasa yang menelan banyak korban.

Jika Anda dan keluarga Anda saat ini selamat maka tidak berarti akan selamat selamanya. Atau sekalipun Anda bukan salah satu dari suku-suku primitif yang dirugikan oleh perusahaan asing tadi, tidak berarti Anda dan keluarga Anda 100% bebas dari bencana korporatokrasi ini. Anda pasti juga terkena dampak negatif lainnya. Masuknya negara-negara miskin tadi dalam jeratan dan jebakan hutang memaksa mereka untuk menyesuaikan anggaran belanja tahunannya untuk membayar cicilan dan bungan hutang tersebut. Perkins menyatakan negara-negara di Amerika Utara seperti Ekuador, harus mengalokasikan 50% dari APBN-nya untuk mencicil hutang luar negerinya. Di Indonesia, 30% dari APBN digunakan untuk membayar hutang. Itulah yang menyebabkan sedikitnya anggaran negara dan buruknya layanan-layanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, penciptaan lapangan kerja, dan lain sebagainya.

Itulah akar masalahnya ketika Anda atau tetangga Anda mengeluhkan sulitnya hidup akibat BBM naik atau mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan saat ini. Dan meningkatnya kesulitan hidup ini memunculkan reaksi berantai masalah-masalah sosial pelik lainnya seperti kriminalitas, bahkan terorisme. Ketika menggambarkan kemiskinan dan meningkatnya kesulitan hidup akibat ulah korporatokrasi di Ekuador, ia menulis dalam bukunya:

“Semua orang ini –jutaan di Ekuador, biliunan di seluruh dunia– adalah teroris potensial. Bukan karena mereka percaya kepada komunisme atau anarkisme atau mereka jahat secara intrinsik, tapi semata-mata karena mereka putus asa. Saya penasaran –karena saya telah banyak berkunjung di setiap tempat di dunia ini– kapan orang-orang ini akan “bertindak”, seperti orang-orang Amerika ketika melawan Inggris pada tahun 1770an atau Amerika Latin melawan Spanyol pada awal 1800an.”

Inilah alasan yang membuatnya mengambil keputusan final untuk menyelesaikan bukunya. Tiga ribu lebih korban tewas pada peristiwa WTC, membuatnya bersumpah untuk sungguh-sungguh menyelesaikan bukunya dan membuat gerakan untuk menyadarkan dunia tentang bahaya korporatokrasi. Kalau Anda masih belum yakin, atau menganggap apa yang ditulis Perkins terlalu tendensius atau paranoid, saya kutipkan lagi pendapat lain. Seorang pakar ekonomi peraih Nobel, Joseph Stiglitz, yang dijuluki oleh majalah The Economist sebagai pahlawan gerakan antiglobalisasi, menulis dalam bukunya The Roaring Nineties:

“Peristiwa 11 September 2001 mempertontonkan sisi yang lebih kelam lagi dari globalisasi. Kendati akar masalahnya kompleks, jelas bahwa keputusasaan dan tingginya tingkat pengangguran di sebagian besar belahaan dunia menjadi lahan subur bagi tumbuhnya terorisme.”

Apa yang diungkapkan oleh Perkins dan Stiglitz di atas, atau bahkan dari kesulitan hidup yang Anda rasakan saat ini, seharusnya sudah cukup untuk memberikan kita pelajaran berharga; bahwa kita harus memiliki kesadaran dan kecerdasan politik, kita harus tahu –dan betul-betul memahami– apa yang terjadi disekitar kita, bagaimana sistem kehidupan ini bekerja, kemana akan berjalan, apa yang akan terjadi, dan apa dampaknya bagi kita semua. Yang tidak kalah pentingnya, kita harus sadar bahwa kita bertanggung jawab terhadap sistem yang ada saat ini, sebagai mana kita bertanggung jawab terhadap nasib kita sendiri. Kemana sistem ini berjalan dan apakah ia bisa mensejahterakan kita atau tidak, semuanya adalah pilihan dan tanggung jawab kita bersama.

Sistem atau tata kehidupan yang ada saat ini bukan jatuh dari langit, tapi hasil buatan manusia. Ia telah dirancang, dibangun, dan dipertahankan oleh kita. Jika sistem ini terbukti gagal mensejahterakan kita, adalah pilihan kita untuk merancang dan membagunnya kembali. Perkins mengatakan, ketika cukup banyak orang yang akhirnya sadar, maka sistem ini tidak akan berjalan lebih lama lagi.

Lebih-lebih lagi dalam kapasitas seorang muslim, ada lebih banyak dorongan untuk memiliki kesadaran dan kecerdasan politik. Karena Islam diturunkan ke dunia ini tidak semata-mata sebagai doktrin personal-spiritual, tetapi juga sebagai doktrin politik. Secara normatif (tinjauan Al-Quran dan Sunnah), hal ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Secara historis, tak ada yang lebih jelas dari terbentangnya 13 abad sejarah pemerintahan Islam. Mulai dari masa Nabi Muhammad saw, sampai Kekhilafahan Turki Ustmani sebagai negara Islam terakhir. Selama kurun waktu ini kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan hubungan internasional jelas-jelas diinspirasikan dan diatur oleh ajaran Islam. Ketika kita membandingkan warisan intelektual dan sejarah gemilang peradaban Islam, dengan nasib umat Islam saat ini, sungguh menyisakan banyak pertanyaan. Mereka terpinggirkan dan tergencet di sela-sela peradaban, termasuk menjadi bulan-bulanan kekuatan korporatokrasi.

Perkins dalam bukunya secara detil menceritakan aksinya di Arab Saudi, bagaimana ia menggunakan wanita untuk membujuk salah seorang tokoh kunci di House of Saud agar proyeknya disetujui. Termasuk Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, juga harus bertekuk-lutut mengabdi kepada kepentingan korporatokrasi. Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya jelas, karena kita tidak lagi memahami Islam seperti generasi awal memahaminya. Dewasa ini Islam hanya dipahami sebatas doktrin personal-spiritual, yang berbicara tentang hati, moral, dan akhlak semata. Akhirnya, kekosongan doktrin politiknya diisi oleh konsep-konsep diluar Islam seperti kapitalisme dan sekulerisme. Harus diakui, kondisi inilah yang memberikan jalan mulus bagi masuknya korporatokrasi di Indonesia.

Dan harus diakui pula, kondisi ini masih bertahan sampai hari ini. Karena nampaknya memang ada upaya-upaya untuk terus mempertahankan pemahaman Islam Sekuler di masyarakat. Indikasinya jelas, acara-acara ceramah di televisi, radio, media elektronik dan cetak selalu mengetengahkan Islam hanya sebatas dimensi personal-spiritualnya saja. Tidak pernah, atau minimal sangat sedikit yang mengangkat tema-tema atau wacana politik-ideologis. Sudah saatnya, para ustdaz, kiyai, pemuka Islam, dan kita semua, untuk melakukan orientasi ulang peran yang dijalankan selama ini. Apakah kita telah menanamkan pemahan komprehensif tentang Islam atau justru mengkerdilkannya sehingga hilang kekuatannya.

Inilah agenda terpenting umat saat ini. Bagaimana kita menyadarkan umat, tidak hanya memahami bagaimana me-manage kalbunya, tetapi juga bagaimana me-manage negaranya, ekonominya, dan pemerintahannya berbasis Islam. Tidak hanya berbicara tentang kecerdasan emosional-spiritual, tetapi juga berbicara tentang kecerdasan politik-ideologis. Inilah pilihan satu-satunya, kecuali kita masih rela kekuatan korporatokrasi bercokol lebih lama lagi.

Sekali lagi, meningkatkan kesadaran dan kecerdasan politik umat adalah agenda terpenting kita saat ini. Apa yang dilakukan generasi kita 30 tahun yang lalu yang menentukan sistem dan nasib kita sekarang (Perkins mulai beraksi di Indonesia akhir tahun 1960). Rendahnya kesadaran politik umat 30 tahun silam yang membawa kita pada keadaan kita sekarang. Rendahnya kecerdasan politik umat 30 tahun silam yang membuat kita seperti domba-domba yang hanya pasrah digembalakan kesana-kemari, sampai akhirnya domba-domba itu diarak untuk dimangsa binatang buas.

Seandainya buku Perkins terbit 30 tahun silam, mungkin keadaannya menjadi sangat berbeda saat ini. Tapi buku Perkins terbit saat ini! Artinya saat ini, kita memiliki pilihan dan kekuatan untuk menentukan nasib kita dan anak cucu kita 30 tahun ke depan, bahkan lebih. Saat ini kita bisa lebih sadar dan peka terhadap tipu muslihat korporatokrasi. Saat ini kita tidak akan mengulang kesalahan yang telah dilakukan 30 tahun silam. Mulai saat ini, masa depan kita, kita sendiri yang akan menentukannya. Kita akan mulai membangunnya saat ini, hari demi hari, dan dengan izin dan kekuatan-Nya, kita pasti berhasil. Bukankah NIC, sebuah lembaga dibawah CIA, meramalkan 15 tahun kedepan kekuatan Islam yang mereka sebut sebagai The New Caliphate, akan bangkit di pentas dunia. Lalu mengapa kita tidak lebih optimis dari mereka?

Lalu sebagai langkah awal yang praktis, apa yang bisa kita lakukan? Di akhir bukunya John Perkins meminta kita melakukan hal yang sama seperti yang telah dia lakukan; melakukan sebuah pengakuan (confessions). Pengakuan tentang kesalahan yang kita abaikan atau acuhkan selama ini. Pengakuan tentang dosa kolektif yang akhirnya menumpulkan nurani kita. Pengakuan tentang ketidakpedulian terhadap kezhaliman yang terjadi di depan mata kita. Pengakuan tentang sifat mementingkan diri sendiri kita dan mengabaikan orang lain. Pengakuan kita secara jujur, apakah selama ini kita mengabdikan diri kita kepada nilai-nilai yang rendah dan nista, atau kepada kebenaran hakiki. Ia dalam posisinya sebagai seorang ekonom, telah memberikan contoh dengan melakukan sebuah pengakuan yang berarti. Menurutnya, mengakui sebuah kesalahan adalah awal dari solusi. Dan mengakui sebuah dosa besar adalah awal dari keselamatan.

Saya membayangkan dan mengharapkan, ada serangkaian buku-buku yang akan terbit sebagai efek domino dari Confessions of Economic Hit Man ini. Sebagai sebuah wujud dari pengakuan atau taubat dari dosa-dosa yang pernah kita lakukan selama ini, pada posisi dan peran kita masing-masing. Apakah itu Confessions of “Pejabat” Hit Man, yang merupakan pengakuan dari para pemimpin dan birokrat korup yang mengabaikan kepentingan warga negaranya dan melayani kepentingan korporasi-kapitalisme. Atau Confessions of “Ustadz/Kiyai” Hit Man, yang merupakan pengakuan dari para ustadz/kiyai yang menjadikan agama Islam sebagai alat legitimasi kepentingan kapitalisme, liberalisme dan sekulerisme. Atau para pemuka agama yang melakukan “pembodohan terselubung” yang terus-menerus mengetengahkan Islam hanya sebatas dimensi moral dan spiritual semata, tanpa pernah melakukan pencerdasan dan penyadaran terhadap aspek politik-ideologi Islam.

Atau judul buku yang lain mungkin seperti Confessions of “Pelajar/Mahasiswa” Hit Man, sebagai sebuah pengakuan dari para pelajar dan mahasiswa pragmatis-oportunis, yang menganggap mahasiswa hanyalah sebuah jenjang untuk meraih kebahagiaan materialistik; cepat lulus, IP tinggi, kerja mapan, gaji tinggi, fasilitas lengkap, atau bahkan meniti karier di perusahaan multinasional yang akhirnya mengkadernya menjadi seorang EHM yang lain. Atau setidaknya, jika tidak menulis sebuah buku Confessions, Anda bisa mendefinisikan ulang peran Anda dalam sistem yang ternyata terbukti gagal membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya ini. Minimal sekali, Anda tidak ambil bagian melanggengkan keberadaan sistem ini. Jangan sampai kehadiran Anda justru membuat umur sistem yang zhalim ini lebih panjang lagi. Hal ini bisa dicegah dengan terus-menerus melakukan penyadaran tentang pengaturan dan penataan kehidupan berbasis Islam, sampai sistem kehidupan yang Islami itu terwujud secara nyata ditengah-tengah kita.

Bagaimana pun juga sebuah confessions pasti beresiko. John Perkins sendiri maju mundur empat kali selama 20 tahun menggarap bukunya, karena ada ancaman dan penyuapan dari pihak-pihak tertentu. Ia meresikokan hidupnya, karirnya, dan keluarganya (istri dan anak semata wayangnya) dengan membuat pengakuan ini. Kita pun demikian. Tapi bagaimana pun ini adalah sebuah pertukaran/barter yang sangat layak. Kita cuma hidup di dunia ini satu kali, kalau hidup kita yang cuma sekali ini ternyata tidak bisa menghasilkan perbaikan di dunia yang kita tinggali, lalu apa lagi yang bisa membuat hidup kita lebih layak dan berharga? Pastikan dunia ini menjadi lebih baik ketika Anda meninggalkannya kelak…

Sedjak satoe maret 2009

  • 81.573 hits