You are currently browsing the monthly archive for Maret 2009.

Satu lagi penyalahgunaan kaidah fiqh (ataupun kaidah berfikir), maa yudriku kulluhu, laa yudriku kulluhu, apa yang tidak bisa diambil semuanya, jangan tinggalkan semuanya. Kaidah ini menjadi pembenar bagi mereka yang berjuang dalam sistem yang bathil ini. Menurut mereka jika syariah Islam saat ini tidak bisa diberlakukan secara total, maka menjadi absah untuk “mencicil” dengan masuk kepada sistem yang bathil tadi, ikut menjunjung tinggi demokrasi yang menihilkan Allah sebagai pembuat hukum, berkompromi dengan kezhaliman kapitalisme-liberalisme, berkoalisi dengan partai nasionalis sekuler, dan lain-lain. Semuanya itu dilakukan, dengan kaidah dan landasan berfikir; jika tidak bisa ambil semuanya, jangan tinggalkan semuanya.

Padahal, jelas sekali penggunaan kaidah tersebut tidak bisa serampangan dan semaunya sendiri. Kaidah tersebut tidak boleh digunakan dalam amal-amal yang telah jelas-jelas diharamkan oleh Allah SWT, seperti demokrasi yang jelas-jelas mendepak Allah sebagai satu-satunya yang berhak melakukan tahlil (penghalalan) dan tahrim (pengharaman). Masak UU pornografi dan pornoaksi harus pake voting segala? Lha wong udah jelas-jelas haram! Menggunakan kaidah tadi dalam perkara yang haram jelas tidak pas alias keblinger! Analoginya seperti orang yang mau mencuri uang 200 juta, tapi tidak mampu, maka jangan tinggalkan semuanya, 20 juta atau 10 juta saja tidak apa-apa. Karena maa yudriku kulluhu, laa yudriku kulluhu, apa yang tidak bisa diambil semuanya, jangan tinggalkan semuanya. Penggunaan kaidah ini jelas salah dan tidak pada tempatnya khan? Lalu yang benar seperti apa? Penggunaan kaidah tadi yang benar misalnya dalam amal-amal yang hukumnya sunnah. Jika tidak mampu sholat tahajud 20 rakaat, maka jangan tinggalkan semuanya, dua rakaat nggak pa-pa. Jika tidak bisa mengkhatamkan Quran dalam waktu sehari semalam, jangan tinggalkan semuanya, khatamkan dalam waktu sebulan atau lebih juga baik, daripada tidak sama sekali.

Topik Utama: Top 10 Alasan Sesat Wajibnya Pemilu

Realitas yang ada saat ini justru pemilu sendiri yang tidak memperbolehkan orang-orang yang memenuhi syarat ini untuk masuk kedalam sistem pemilu tersebut dan memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Islam disana. Ini bisa dilihat dalam undang-undang pendirian partai politik bahwa setiap partai politik boleh berasaskan apapun tetapi harus mendukung asas negara ini, dan undang-undang kampanye, bahwa dalam berkampanye partai-partai dilarang menggugat asas negara dan mengusung isu-isu agama. Sehingga dari realita yang ada dapat kita pahami bahwa memang pemilu bukanlah suatu mekanisme yang dirancang untuk bisa terjadinya perubahan yang mendasar dan menyeluruh (taghyiiran asasan wa syamilan), pemilu saat ini adalah bagian dari sistem kufur yang sejak awal diformat hanya untuk terjadinya perubahan parsial dimana perubahan itu adalah yang diperbolehkan dan tetap berada dalam sistem yang berlaku (sekularisme). Dari sini juga tampak bahwa demokrasi adalah ide khayalan, ide yang seolah-olah memberikan kebebasan berpendapat yang sebebas-bebasnya toh tetap saja hanya memberikan kebebasan dalam hal-hal yang tidak mengancam eksistensi sistem demokrasi itu sendiri.

Hal ini secara jelas dapat dilihat dari pengalaman partai FIS (Front Islamic Salvation) di Aljazair, pada putaran pertama pemilu mereka berhasil mengantongi 80% suara, yang artinya mereka menang secara mayoritas, atau menang secara demokratis. Tetapi walaupun begitu, tetap saja kemenangan mereka tidak diakui dan diberangus oleh militer (yang merupakan penjaga sistem sekular) dan kaum penguasa sekular yang khawatir akan munculnya sistem Islam dari situ. Komentar surat kabar terkemuka di Inggris Independent :

“Kadang-kadang diperlukan tindakan yang tidak demokratis untuk melindungi demokrasi”.

Sementara negara yang menganggap dirinya paling demokratis (champion of democracy), penjaga demokrasi (the guardian of democracy) dan polisi dunia (global cop), AS hanya diam terhadap persoalan ini.

Sekali lagi pengalaman pahit ini membuktikan bahwa pemilu sebenarnya adalah sistem permainan yang dirancang dengan skenario tertentu yang akhirnya sudah bisa ditebak atau dikendalikan oleh sang perancang tadi, yaitu kaum-kaum sekularis dan kaum-kaum kafir yang tidak ingin tegakknya Islam sekali lagi. Pada saat lawatannya ke Indonesia Ralph L. Boyce, Duta Besar AS itu menyumbangkan uang sebesar 13 juta dolar AS atas nama AS kepada pemerintah Indonesia untuk menjamin terlaksananya pemilu dengan baik, ini merupakan bukti bahwa AS memiliki kepentingan untuk terus menjaga proses demokratisasi di Indonesia. Permainan ini sengaja dirancang agar kelompok-kelompok yang terjebak dalam permainan ini terus sibuk dan terlena di dalam skenario ini, merasa inilah jalan yang jelas, cara yang konkrit untuk mewujudkan perubahan yang mereka harapkan dan menegakkan hukum-hukum Islam. Padahal yang terjadi malah sebaliknya.

Sesungguhnya yang terjadi saat ini adalah pragmatisme berfikir di kalangan parpol-parpol Islam, dimana seolah-olah kita harus bersikap kondisional, seolah-olah hanya ikut pemilu-lah pilihan satu-satunya untuk mewujudkan cita-cita. Misalnya kita selalu disuguhi pilihan kalau kita merasa muslim dan ingin Islam disuarakan maka bukti konkritnya adalah pilih partai islam lewat pemilu (walau mekanisme pemilu di Indonesia haram) atau akan timbul kerusakan yang lebih besar lagi seandainya kita tidak memilih partai Islam. Itulah yang terjadi saat ini, seolah-olah ini adalah situasi yang sangat dharurat dan mengharuskan kita memilih diantara dua keharaman yang ada. Tetapi tidak sedikitpun tergambar di benak mereka bahwa ada metode yang telah disyari’atkan yang secara historis telah terbukti dan teruji dan secara empiris lebih memungkinkan untuk terjadinya perubahan.

Tujuan Mulia Tidak Manghalalkan Segala Cara

Isu-isu yang berkembang dan hangat saat ini adalah isu tentang bangkitnya kekuatan kaum kafir yang tergabung dalam suatu partai yang dikhawatirkan akan terpilih menjadi penguasa, sehingga berlandaskan isu ini, parpol-parpol Islam mencoba menggalang suara dan memanfaatkan emosional yang muncul di kalangan kaum muslimin agar serentak memilih partai Islam untuk menghadang kekuatan kaum kafir. Ada pula kelompok yang berpendapat, bahwa walaupun demokrasi bukan berasal dari Islam dan tidak sesuai dengan Islam, tetapi masih bisa dimanfaatkan (lewat pemilu) selama kaum muslim punya komitmen. Jelas sekali bahwa kekhawatiran-kekhawatiran, pertimbangan-pertimbangan yang ada di atas adalah berdasarkan penilaian akal semata -bukan realita- dan berdasarkan timbangan asas-manfaat -bukan syari’at-. Telah kami jelaskan di awal tadi, bahwa dalam pandangan syara’ pemilu itu adalah wasilah (sarana/perantaraan) yang dapat menghantarkan kepada suatu perbuatan yang haram, sehingga wasilah itu pun haram, dalam hal ini kaidah syara’ yang digunakan adalah:

“Wasilah (perantaraan) yang pasti menghantarkan kepada perbuatan haram adalah juga haram”

Dan sesungguhnya, perbuatan berdasarkan akal dan asas-manfaat tidaklah dapat menghalalkan sesuatu yang memang hukumnya sudah haram atau mengharamkan sesuatu yang memang halal. Fungsi akal disini hanyalah untuk memahami dalil-dalil syara’, sehingga seharusnya seseorang tidaklah menentukan sikap atau beraktivitas berdasarkan hal ini. Selain itu, ketakutan dan kekhawatiran manakala umat muslim akan tertindas bila kaum kafir yang jadi pemimpin, inipun adalah kekhawatiran yang tidak nyata dan atas dasar “andai-andai”.

Kaidah ushul yang sering dipakai adalah “Dharurat membolehkan melakukan sesuatu yang dilarang (diharamkan)”. Pernyataan inipun dapat dibantah karena kaidah ushul bukanlah dalil syara’ tetapi hanya hukum syara’ dan penerapannya pun mengikuti aturan key and lock seperti dalam proses enzimatis, dengan kata lain, penerapan kaidah ushul tertentu memerlukan kondisi atau fakta yang tertentu pula. Dan dharurat yang dimaksud disini bukanlah kondisi dharurat yang ditetapkan semaunya oleh akal manusia, tetapi apa yang disebut dengan kondisi dharurat juga haruslah berlandaskan dalil-dalil syara’.
Menurut Imam Zarkasyi, dharurat adalah kondisi dimana seseorang sampai pada batas bilamana ia tidak melakukannya, ia akan binasa atau mendekati kebinasaan. Sedangkan “dharuriyun” yaitu sesuatu yang sangat mendasar dan penting, yang menyangkut hajat hidup manusia yang harus mendapat perlindungan dan penjagaan, bilamana tidak dipenuhi maka akan membawa mafsadat (kerusakan), mudharat, bagi kehidupan manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:

Dharurat yaitu kondisi dimana seseorang tidak mempunyai pilihan lain kecuali terpaksa melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh Syara’ karena adanya bahaya atau kemudharatan yang menimpa dirinya atau menimpa diri orang lain, seperti kelaparan yang mengancam jiwa atau siksaan dan ancaman pembunuhan. Sehingga dharurat yang diartikan oleh kebanyakan parpol islam untuk membenarkan tindakan kompromisasi mereka dengan sistem kufur (sekularisme) tidaklah dapat dibenarkan. Karena pada kenyataannya kita dapat memilih mengikuti mekanisme pemilu ataupun memutuskan untuk meninggalkannya. Jadi, kaidah ini hanya boleh dipakai jika memang ada kondisi dharurat tadi. Dalil syara’ yang memperbolehkannya adalah firman Allah SWT.

“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah). Kecuali orang yang telah dipaksa kafir padahal-hatinya tetap tenang dalam beriman, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar” (QS. an-Nahl:106)

Sama seperti kaidah ushul yang juga sering dipergunakan “Mengambil yang paling ringan diantara dua dharar” kaidah ini juga tidak digunakan pada tempatnya sehingga seolah-olah dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan mengikuti pemilu yang pada kenyataannya haram dikarenakan ada keharaman yang lebih besar lagi yaitu didzalimi oleh penguasa yang kafir. Padahal, sekali lagi, yang ditakutkan itu bukanlah dharar (bahaya) yang nyata, tetapi masih “andai-andai”. Kaidah ini hanya dapat digunakan hanya ketika benar-benar ada dharar yang nyata dan mengharuskan kita untuk memilih aktivitas yang paling ringan diantara dua dharar. Misalnya keadaan ketika berada di gua dan tidak ada sesuatu pun yang dimakan, sedangkan tersedia hanya daging babi, maka saat itu daging babi yang haram menjadi halal karena adanya rukhshah (keringanan) yang diakibatkan oleh kondisi dharurat bahwa jika ia tidak makan daging babi maka pasti akan mati, inilah yang dimaksud memilih yang paling ringan diantara dua dharar (menghilangkan nyawa sendiri lebih haram daripada haramnya makan babi). Dalil syara’ yang memperbolehkannya adalah riwayat dari Amru bin Ash:

“Pada malam yang dingin aku mimpi indah (keluar mani), itu terjadi pada perang “dzalatus salaasil”. Lalu aku khawatir kalau aku mandi maka aku akan binasa, lalu aku bertayamum kemudian aku shalat shubuh bersama teman-temanku. Lalu orang-orang menuturkan keadaan tersebut kepada Nabi saw., lalu beliau berkata “Hai Amru, dan kamu shalat dengan teman-temanmu sedangkan kamu junub”, lalu aku memberi khabar kepada beliau akan sesuatu yang mencegahku mandi dan aku berkata: “Sesungguhnya aku telah mendengar Allah ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian” lalu Nabi saw. tersenyum dan tidak berkata apa-apa”.

Hal ini diindikasikan dengan firman Alah SWT.

“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan siapa saja berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka…” (QS an-Nisa’ [4]: 29-30)

Ada pula yang mengatakan bila kita belum bisa menerapkan hukum Islam dengan sempurna, maka kita harus menerapkan apa yang kita bisa terlebih dahulu dalam sistem yang sudah ada ini, dengan berlandaskan pada kaidah “Apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya”. Inipun adalah penggunaan kaidah ushul yang tidak pada tempatnya. Kaidah ini bisa digunakan dalam konteks ibadah, misalnya ketika seseorang baru masuk Islam dan belum menguasai bacaan-bacaan shalat dan gerakan-gerakannya, ini tidak menggugurkan kewajiban shalatnya. Sebaliknya ia tetap wajib mengerjakan shalat walau harus dipandu orang lain. Kaidah ini juga bisa dipakai dalam konteks yang lain misalnya ketika Rasulullah saw. menghadapi musuh yang jumlahnya sangat besar dalam perang Khandak, beliau menyadari bahwa pasukan beliau tidak mampu mengalahkan mereka. Namun, tidak berarti bahwa berjihad melawan mereka menjadi tidak wajib, karena alasan tidak mampu. Sebaliknya, jihad tetaplah wajib walaupun sangat sukar bgi kaum muslim untuk meraih kemenangan dalam peperangan tersebut. Dalam situasi seperti ini, yang mungkin bagi Rasul adalah melakukan perjanjian damai. Sebab melakukan perjanjian damai ini masih mungkin dilakukan. Yang jelas kaidah ini tidak bisa digunakan menjadi pembenaran untuk mengikuti pemilu, berkompromi dengan sistem kufur dengan masuk parlemen lalu menempelkan hukum-hukum Islam di konstitusi yang bukan Islam. Selain itu, menurut as-Suyuthi, kaidah diatas digali dari hadis Nabi saw. yang menyatakan:

“Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu urusan, tunaikanlah urusan itu sesuai dengan kemampuan kalian.”

Dalam hadis ini, konteks kalimat “sesuai dengan kemampuan kalian” mengindikasikan adanya “kemampuan yang paling tinggi”, dan bukan kemampuan semampunya. Misalnya jika seseorang mempunyai kemampuan 100% maka tidak bisa dikatakan “sesuai dengan kemampuan kalian” jika dia menunaikan perintah tersebut hanya dengan kemampuan 90% atau 98%. sehingga seseorang dikatakan telah “sesuai dengan kemampuan kalian” ketika dia memakai seluruh potensi yang ada pada dirinya dan berusaha semaksimal mungkin (100%). Sehingga kaidah “Apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya” tidak bisa digunakan apabila belum mencoba menunaikan kewajiban tersebut dengan segenap kemampuannya. Dengan kata lain kaidah ushul tersebut hanya bisa digunakan apabila ia telah sungguh-sungguh berusaha dengan segenap kemampuannya untuk melakukan hal itu. Selain itu, upaya penegakan syari’at bukanlah dengan menambahkan Islam secara parsial kepada asas yang bukan Islam, tetapi menjadikan Islam sebagai asas itu sendiri dan mendasarkan semuanya atas dasar Islam.

Kompromi Dengan Sistem Kufur: Penggembosan Terhadap Perjuangan Islam

Secara logika pun, masuknya parpol Islam ke dalam sistem kufur (mekanisme pemilu dan fungsi parlemen) pun akan menimbulkan banyak pertanyaan dari masyarakat. Ketidakbolehan masuknya mu’min kedalam parlemen, adalah karena disana hukum Allah dijadikan pilihan (option) bukan kewajiban (obligation), Lagipula, parpol-parpol Islam dan kelompok yang menganggap akan bisa mewarnai parlemen dengan hukum-hukum Islam padahal realitas yang terjadi justru disana hukum-hukum Islam yang agung dikompromikan dan disamaratakan dengan hukum-hukum buatan manusia (diperolok-olok), padahal dengan tegas Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya:

Sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Kitab (al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah, diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sehingga mereka masuk pada pembicaraan lainnya. Karena sesungguhnya kalau kamu demikian (duduk bersama mereka) tentulah kamu seperti mereka. Sesunggunya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir semuanya di dalam jahannam. (QS an-Nisaa’ [4]: 140)

Dan apabila engkau melihat orang-orang yang berbicara (memperolok-olokkan) ayat-ayat Kami, maka hendaklah engkau berpaling dari mereka sehingga mereka beralih kepada pembicaraan lainnya. Dan jika engkau terlupa karena setan, maka janganlah engkau duduk bersama kaum yang zalim setelah adanya peringatan. (QS al-An’aam [6]: 68)

Sikap seperti itu tentuya akan menimbulkan tanda tanya besar bagi masyarakat dan akan dinilai sebagai bentuk inkonsistensi parpol-parpol Islam dan para petinggi-petingginya. Disatu sisi mungkin mereka membanggakan Islam sebagai solusi, disisi lain justru mereka masuk dan berjuang lewat sistem yang nyata-nyata bukan Islam. Maka tidak heran buah dari sikap inkonsistensi ini akan melahirkan sikap kompromistis dengan penguasa karena mereka perlu untuk mempertahankan eksistensi mereka didalam sistem. Dan akhirnya seringkali mereka terlihat keteteran dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sedikit menusuk dan selalu jawaban yang dikeluarkan bersiat defensif apologetis. Misalnya ketika di TV ada yang melontarkan pertanyaan kepada salah satu tokoh parpol Islam “apakah Islam tidak mendukung demokrasi?” maka jawaban tokoh tersebut adalah “Tidak, justru Islam adalah agama yang paling demokratis” inilah jawaban defensif apologetis dikarenakan oleh karena parpol tersebut tidak ingin mendapat “cap buruk” dari masyarakat maupun pemerintah. Kata “Tidak” adalah bentuk pernyataan defensif, sedangkan perkataaan “justru Islam adalah agama yang paling demokratis” adalah pernyataan apologetis (pernyataan maaf), artinya ia mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan Islam karen mungkin pada waktu itu ide-ide Islam belumlah laku. Inilah pula yang kita kenal dengan sikap taqiyah yaitu sikap seorang muslim yang menampakkan sesuatu yang jelas-jelas berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya karena khawatir akan penganiayaan atau terbuka jati dirinya yang sebenarnya ataupun takut tidak diterima di kalangan orang-orang ataui kelompok tertentu. Mereka berdalih bahwa sikap seperti ini diperbolehkan karena adanya firman Allah:

“Hendaklah orang-orang mukmin tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai wali, dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa yang melakukannya niscaya lepaslah dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) melindungi diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah trempat kembali-(mu).” (QS Ali Imran [3]: 28)

Perlu ditegaskan pula, bahwa jika kita kaji secara mendalam, maka dalam ayat tersebut memang tidak ada kaitannya dengan dibolehkannya taqiyah, ayat diatas terkait dengan tema persahabatan orang mukmin dengan orang kafir. Tidak berhubungan dengan penampakan seorang muslim yang berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya. Nash ayat ini dilihat dari tema dan lafadznya hanya bisa ditafsirkan sesuai dengan makna bahasa atau makna syara’-nya saja. Haram hukumnya untuk menafsirkan selain dengan kedua makna tersebut, sebab lafadz al-Qur’an mengandung makna (dan berbahasa) Arab. Maka, dalil diatas tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi untuk ber-taqiyah. Oleh karena itu, praktek seperti ini jelas-jelas merupakan suatu kemunafikan dan Islam mengharamkannya. Secara mutlak seorang muslim tidak diperbolehkan untuk melakukannya.

Kompromisme

Tentang kompromisme, Rasulullah saw. tidak pernah sekalipun berkompromi dengan sistem kufur, dalilnya adalah perkataan Nabi saw. kepada pamannya yaitu Abu Thalib ketika ditawari kekuasaan, harta, dan kekayaan oleh kaum kafir Quraisy, beliau menjawab:

“Demi Allah wahai pamanku, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kannku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara agama ini sehingga Allah menampakkannya atau aku mati karenanya, aku tidak akan pernah meninggalkannya”

Sehingga tidak aneh pula jika program-program yang akhirnya ditawarkan oleh parpol-parpol Islam yang memperjuangkan Islam lewat sistem sekular tidaklah mempunyai pandangan yang khas atau menyuarakan Islam secara kaffah. Tetapi hanya berkutat pada isu-isu lama, klise dan umum seperti korupsi, kolusi, nepotisme, terorisme dan lain-lain (yang disuarakan juga oleh partai-partai politik yang lain). Kalaupun masyarakat memilih partai Islam tersebut, yang terjadi adalah masyarakat memilih partai tersebut karena setuju dengan janji-janji yang ditawarkan, bukan karena mereka setuju dengan penerapan syari’at (karena memang tidak pernah dikampanyekan). Sehingga ketika partai itu menang dan ingin menegakkan hukum Allah, malah masyarakat sendiri yang akan menentangnya karena dianggap mengkhianati janji. Belum lagi militer yang siap melakukan apa saja demi menjaga sekularisme di negara ini. Tambahan, masuknya tokoh-tokoh Islam kedalam parlemen akan memberikan justifikasi (pembenaran) bagi pemerintah yang sedang berkuasa untuk melawan kaum yang memang menginginkan perubahan mendasar, bahwa mereka (muslim yang ada di parlemen dan menjalankan fungsi yang bertentangan dengan Islam) juga muslim dan terlibat dalam sistem tersebut.

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat disimpulkanlah bahwa suatu kelompok yang ingin memperjuangkan tegaknnya syari’at Islam harusnya memahami metode penegakkan yang syar’i dan tidak menghalalkan segala cara demi tujuannya. Jika ia melakukannya, maka sungguh ia telah merusak citra perjuangan Islam dan membuat masyarakat menjadi ragu dan bingung akibat inkonsistensi mereka. Maka yang harusnya diperjuangkan oleh kelompok ini adalah metode yang benar, yang mau tidak mau, suka tidak suka harus berasal dari teladan kita Rasulullah saw. Kelompok atau partai itu mestilah pula konsisten dan berpegang teguh dengan metode khas tersebut, karena itu adalah syari’at, kewajiban bagi semua kaum muslimin untuk melaksanakan segala sesuatu sesuai dengan panduan Rasulullah saw. tanpa memandang pertimbangan asas-manfaat, cepat-lama, di depan mata-jauh di mata. Setiap muslim harus ingat bahwa yang diwajibkan atas mereka hanyalah beribadah kepada Allah, karena aktivitas memperjuangkan syari’at Islam juga termasuk ibadah, maka caranya pun tidak boleh dibuat-buat. Yang diperintahkan hanyalah berjuang dengn cara yang syar’i, masalah perjuangan kita akan berhasil atau tidak, itu hak Allah semata.

Thariqah (Metode) Perubahan Rasulullah

Demikianlah penjelasan kami berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul yang banyak digunakan untuk menghalalkan bahkan mewajibkan pemilu bagi kaum muslimin. Jadi, jelas sudah bahwa mekanisme pemilu saat ini, dilihat dari kacamata syari’at bukanlah metode syar’i untuk melakukan perubahan dan menegakkan hukum-hukum Islam. Secara historis dan empiris pun terbukti bahwa dalam pergolakan pergantian sistem secara mendasar yang ada di dunia ini, belum ada yang berhasil mengganti suatu sistem dari dalam sistem itu sendiri. Tetapi bukan berarti perubahan menuju penegakkan hukum-hukum Islam itu sendiri menjadi suatu hal yang utopis. Semua ini dikarenakan karena selama ini masyarakat terkungkung dalam pola pikir pragmatis dan hanya mengetahui pemilu saja sebagai cara untuk mengubah pemerintahan.

Islam adalah agama yang unik, satu-satunya agama yang mengatur manusia baik ibadah (ruhiyah) maupun dalam hal kehidupan/politik (siyasah). Karena itu sebagai kosekuensi dari iman seseorang, maka iman itu mengharuskan semua perbuatan manusia terikat pada hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan. Seorang mu’min akan senantiasa mendasarkan segala aktivitasnya pada hukum-hukum yang telah diturunkan kepadanya dan tidak mengadakan hal-hal baru. Termasuk dalam aktivitas perubahan ini, karena Nabi saw. telah bersabda

“Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, maka tertolak”

Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, kita harusnya juga selalu mencontoh metode Rasulullah saw. dalam merubah masyarakat jahiliyyah pada waktu itu menjadi masyarakat Islam yang diterangi cahaya kemilau dengan menegakan Daulah Islamiyyah yang telah menggoreskan tinta emas pada peradaban manusia.
Keharusan dalam mengikuti Rasulullah saw. selalu ditegaskan dalam firman Allah SWT:

“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suatu contoh yang baik bagimu…” (QS al-Ahzab: 21)

“Apa saja yang disampaikan Rasulullah kepada kalian, terimalah, dan apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]: 7)

”Katakanlah, ”Inilah jalan (dakwah) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada (agama) Allah dengan hujjah (bukti) yang nyata.” (QS Yusuf [12]: 108)

Siapapun yang ingin melakukn perubahan haruslah memahami dengan benar fakta-fakta tentang apa yang ingin dirubahnya, mengapa perlu dirubah dan ia pun harus mempunyai gambaran jelas yang tidak kabur dan mendetail tentang perubahan seperti apa yang ia inginkan. Ia pun harus memahami secara jelas apa kelebihan sistem yang dia inginkan dibanding sistem saat ini. Karena objek perubahan kita adalah masyarakat, maka kita harus memahami seperti apa realita masyarakat. Belumlah tepat ketika seseorang mendefinisikan masyarakat hanyalah kumpulan individu. Seseorang yang mengamati masyarakat secara mendalam akan menemukan bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang berinteraksi untuk mencapai kemashlahatan dan mempunyai pemikiran, perasaan dan sistem yang diterapkan. Jadi, untuk merubah masyarakat secara mendasar dan menyeluruhm kita pun harus berusaha menyerang pemahaman (mafahim), standar (maqayis), dan keyakinan (qanaah) yang diadopsi, yang membentuk pemikiran, perasaan, dan sistem yang dipakai di dalam masyarakat dengan serangan pemikiran untuk kemudian menggantinya dengan pemahaman, standar, dan keyakinan yang kita inginkan. Dan tentu saja tidak dengan jalan kekerasan. Dan inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sehingga dengan berlandaskan pada hal itu, jika kita lihat pada sirah Nabi saw. dan mengamatinya, maka kita akan mendapatkan bahwa metode yang dilakukan oleh Rasulullah saw. untuk mewujudkan perubahan tersebut adalah dengan 3 tahapan:

1.Tahapan Pembinaan (Marhalah Tatsqif)
Pada tahap ini, Rasulullah saw. melakukan kulturisasi dan organisasi Islam kepada orang-orang yang waktu itu masih belum bisa dibilang banyak. Pada saat itu pula, Rasulullah saw. terus membina mereka dengan menanamkan pemikiran-pemikiran Islam kepada berupa akidah Islam dan syari’at Islam kepada mereka sehingga pada saat itu para shahabat yang baru berjumlah lebih dari 40 orang menjadi matang dalam penguasaan pengetahuan Islamnya (tsaqafah Islamiyyah). Pola pikir dan pola sikap mereka pun menjadi telah Islami. Rasulullah membina mereka dalam jangka waktu kurang lebih 3 tahun dengan da’wah yang masih sembunyi-sembunyi, di dalam kelompok inilah kemudian akan lahir individu-individu yang menstandarkan seluruh aktivitasnya pada syari’at Islam yang secara jama’ah kuat ikatannya dan siap dipergunakan untuk memperjuangkan Islam.

2.Tahapan Interaksi dengan Ummat (Marhalah Tafa’ul ma’al Ummah)
Tahap ini dimulai ketika turun ayat dari Allah SWT. Yang berbunyi:

”Oleh karena itu, sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala hal yang diperintahkan kepadamu, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS al-Hijr [15]: 94)

Pada saat ayat ini turun, saat itulah kaum muslimin yang masih tergabung dalam kelompok kecil itu mulai masuk dan berinteraksi dengan masyarakat jahilliyah pada waktu itu. Saat itulah Rasulullah saw. melakukan kegiatan-kegiatan yang dipandang perlu dilakukan agar pemikiran-pemikiran dan ide-ide Islam menjadi opini umum (ra’y al-’am) yang lahir dari kesadaran umum (wa’y al-’am). Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Rasulullah pada waktu itu untuk mewujudkan opini Islam di tengah-tengah masyarakat adalah dengan (1) melakukan pembinaan khusus (at-tatsqif al-murakkazah) kepada para shahabat dan orang yang baru masuk Islam, (2) melakukan pembinaan umum (at-tatsqif al-jama’iy) yaitu dengan menghadiri majelis-majelis dan musim-musim haji untuk menyeru manusia dengan Islam, membaca al-Qur’an di sisi Ka’bah, (3) melakukan serangan pemikiran terhadap ide-ide kufur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dan juga menyerang interaksi-interaksi yang batil antara penguasa pada waktu itu dan masyarakat dengan pergulatan pemikiran (as-shira’ al-fikri) dan perjuangan politik (al-kifah as-siyasi) sehingga masyarakat menjadi tidak percaya pada hukum jahilliyah dan penguasanya pada waktu itu. Sebagai ganntinya Rasulullah dan para shahabat memberikan solusi terang benderang, yaitu solusi Islam. Ketika Islam telah menjadi opini umum seperti di kota Madinah al-Munawarrah, maka dengan sendirinya masyarakat akan menstandarkan seluruh aktivitasnya pada Islam dan otomatis merindukan ditegakkannya Islam.

3.Tahapan Penerimaan Kekuasaan (Marhalah Istilamil Hukmi)
Tahapan ini adalah tahapan pengambilalihan/penerimaan kekuasaan serta penerapan Islam secara utuh serta menyeluruh. Hal ini terjadi ketika dalam waktu satu tahum Mush’ab bin Umair berhasil menyiapkan Madinah menjadi tempat bagi Rasulullah untuk menegakkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila tahap kaderisasi dan tahap interaksi dengan ummat telah dilalui dan berhasil diwujudkan. Hal ini juga memerlukan dukungan dari pemilik kekuasaan dan kekuatan (ahl al-quwwah) di daerah tersebut, untuk itu, pada proses da’wahnya rasulullah selalu mendatangi kabilah-kabilah pemegang kekuasaan di kaum Arab pada waktu itu, Rasulullah juga pernah meminta pertolongan kepada penduduk Madinah pada saat Bai’at Aqabah kedua. Inilah yang disebut dengan meminta pertolongan kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan (thalab an-nushrah). Ini juga terlihat pada aktivitas Mush’ab bin Umair yang menda’wahi pemuka dari Bani abd al-Asyhal Usaid bin Khudair dan Sa’ad bin Mu’adz yang erupakan pemimpin yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan serta kekuatan di kota Madinah. Tujuan mencari perindungan pada kaum pemilik kekuasaan ini ada dua macam, yaitu: (1) untuk mendapatkan perlindungan (himayah) sehingga tetap dapat melakukan aktivitas da’wah dalam keadaan aman dan terlindung, (2) untuk mendapatkan dukungan dari para pemilik kekuasaan dan kekuatan untuk menerapkan Islam dalam segala aspek kehidupan dengan bentuk pemerintahannya yang khas yaitu Daulah Islamiyyah.

Dalam melaksanakan perubahan itu, Rasulullah juga mepunyai karakter yang khas dalam perjuangannya, yaitu tanpa kekerasan (laa maddiyyah), pemikiran (fikriyyah) dan politis (siyasiyyah). Hal ini dapat dipahami, dari awal da’wah Rasulullah saw. sampai terjadinya perubahan yaitu berdirinya Daulah Islamiyyah di Madinah. Rasululah saw tidak pernah melakukan tindakan kekerasan kepada kaum-kaum kafir Quiraisy yang nyata-nyata pada waktu itu memerangi dan menyiksa kaum muslimin. Bukan berarti pada saat itu Rasulullah tidak mempunyai kekuatan, tetapi memang karena ia belum diperintahkan oleh Allah SWT. Untuk melakukan hal itu. Bahkan ketika Bilal bin Rabbah disiksa dan ketika shahabat meminta kepada Rasulullah saw. untuk memerangi orang-orang Quraisy, beliau menjawab: ”Kami belum diperintahkan untuk itu.” Padahal pada saat itu Rasulullah saw. telah mendapatkan dukungan yang memadai, semangat dan keberanian yang tinggi dari para pengikutnya. Namun, Rasulullah tetap menolaknya dengan tegas. Ini menunjukkan bahwa dalam rangka menegakkan (syaria’t) Islam tidak dibenarkan aktivitas kekerasan atau mengangkat senjata.

Bangkitnya Islam juga didasari pada landasan pemikiran ”Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah”, inilah yang dida’wahkan Rasulullah saw. dimana dari pemikiran dasar inilah akan muncul akidah yang berlandaskan pemikiran yang shahih. Pemikiran ini pula yang akan mendasari taatnya seorang muslim pada syari’at Islam.

Kekuasaan adalah salah satu akses politik, sehingga untuk mengambil kekuasaan itu juga diperlukan aktivitas politik. Sehingga aktivitas Rasulullah pada waktu itu yang menyerang ide-ide jahilliyah dan pemikiran-pemikiran batil yang berkembang didalam masyarakat, mengungkap konspirasi kaum kafir, menelanjangi kebusukan penguasa pada saat itu juga merupakan aktivitas politis, begitu pula dengan proses meminta pertolongan (at-thalab an-nushrah) kepada yang dilakukan Rasulullah, yaitu mendatangi penguasa (ahl al-quwwah), ini pun merupakan tindakan politis yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

Penutup

Demikianlah penjelasan singkat kami mengenai Pemilu dan Perubahan dalam Pandangan Islam, dan sekali lagi, tulisan ini tidaklah sebagai tongkat pemukul atau pedang penusuk yang ditujukan untuk suatu kelompok atau partai tertentu. Kami harap ia menjadi setetes air di tengah kekeringan harapan dan sepercik api di larut kegelapan malam. Pendapat kami benar, tapi mungkin salah. Karena sesungguhnya orang yang berpegang pada dalil terkuatlah yang mendapat petunjuk dari Allah SWT.

“Yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal.” (QS az-Zumar [35]: 18)

Wallahu a’lam bi ash-shawab
Secercah Kasih Yang Terpendam
http://www.ameeratuljannah.blogspot.com

earth-hour1Earth Hour merupakan kampanye perubahan iklim global WWF. Individu, pelaku bisnis, pemerintah dari berbagai negara di semua belahan dunia akan mematikan lampu selama satu jam sebagai pernyataan dukungan upaya penanggulangan perubahan iklim pada Sabtu, 28 Maret pukul 20.30 – 21.30. Tahun ini, untuk pertama kalinya Earth Hour dilakukan di Indonesia, di mana  Jakarta dipilih menjadi kota pertama tempat penyelenggaraannya. Pada Sabtu, 28 Maret 2009, tepat pukul 20.30, masyarakat Jakarta akan menyaksikan dan menjadi bagian dari aksi global dalam memadamkan lampu selama 1 jam.

Dan pada saat yang bersamaan, lampu-lampu di bangunan bersejarah seperti Monumen Nasional (Monas) serta di beberapa ciri khas kota Jakarta lainnya, seperti Patung Pemuda, Jembatan Semanggi, Bundaran HI, Air Mancur Arjuna Wiwaha dan tak terkecuali kantor gubernur balaikota akan dipadamkan.

Klaimnya, memadamkan lampu di DKI Jakarta 1 jam, sama dengan:
• Mengistirahatkan 1 pembangkit listrik dan menyalakan 900 desa
• Mengurangi beban biaya listrik Jakarta sekitar Rp 200 juta
• Mengurangi emisi sekitar 284 ton CO2
• Menyelamatkan lebih dari 284 pohon
• Menghasilkan O2 untuk lebih dari 568 orang

Semalam saya juga menyaksikan iklan Earth Hour di televisi swasta. Saya sama sekali tidak tahu cara berfikir WWF dan pihak-pihak yang mendukungnya. Apa sebenarnya yang ingin dicapai dengan campaign ini? Selamatkan bumi? Membuat orang sadar tentang Global Warming? Mematikan lampu jelas memiliki dampak besar seperti paparan di atas. Tapi coba kita renungkan bersama, apa sebenarnya akar permasalahan Global Warming? Dan apakah bisa selesai dengan Earth Hour? Lalu apa pesan yang ingin disampaikan oleh WWF? Apakah pesan itu bisa mendidik masyarakat sehingga bisa menghentikan problem Global Warming ke depan?

Menurut saya akar permasalahan dari Global Warming adalah adanya ideologi sekular-liberal-kapital yang mengatur dunia saat ini. Sebuah tata dunia yang digerakkan oleh sifat keserakahan dan ketamakan untuk meraup sebesar-besar kenikmatan duniawi dan jasadi. Sebuah tata dunia yang menghamba kepada tujuan-tujuan material, dan mengabaikan tujuan-tujuan spiritual. Sebuah tata dunia yang hipokrit yang rela berperang dan membunuh hanya karena minyak dan kekuasaan. Sebuah tata dunia yang jantungnya adalah industrialisasi dan korporasi yang menghisap habis SDA dan tidak menyisakan apa pun selain limbah beracun. Sebuah tata dunia YANG SAAT INI TENGAH BERJALAN DAN ENTAH SAMPAI KAPAN AKAN TERUS BERTAHAN AKIBATKAN KERUSAKAN YANG LEBIH MASIF DAN EKSTENSIF!

Lalu mengapa kenyataan ini tidak diungkap dan dipropagandakan kepada masyarakat oleh WWF? Mengapa hanya mematikan lampu saja? Mengapa tidak mendidik masyarakat agar memiliki kesadaran politik spiritual, memberdayakan dan menggerakkan mereka untuk melawan hegomoni kekuatan politik sekular-liberal-kapital tadi? Apa artinya mematikan lampu satu jam, setelah itu beribu-ribu bahkan berjuta-juta jam berikutnya, mesin-mesin industri kapitalis-liberal yang tamak dan serakah kembali bising beroprasi mengeruk, mengeksploitasi dan merusak bumi kita? Berbarengan dengan itu mesin-mesin raksasa itu memuntahkan limbah dan racun dalam jumlah yang sangat bear. Mengapa realitas ini tidak pernah disampaikan dalam iklan-iklan dan campaign WWF?

Kalau saya jadi WWF saya akan buat iklan yang tidak hanya mengajak masyarakat untuk hemat energi. Tapi mengajak masyarakat untuk bangkit dan bergerak melawan kekuatan kapitalisme dan liberalisme yang self-destruktif tadi! Saya juga mengajak mereka untuk memprotes pemerintah yang telah memberi izin kepada korporasi asing untuk mengeksploitasi SDA kita! Saya juga akan menyerukan tidak hanya kita yang harus mematikan lampu 60 menit, tapi juga Freeport dan korporasi asing lainnya, mereka juga harus mematikan mesin-mesin raksasa industri penghasil limbah beracun mereka yang bising dan mengerikan itu, mereka semua harus mematikan pabriknya, dan segera angkat kaki dari negeri kita! Kalau hanya kita orang-orang kecil ini bisa menghemat banyak, apalagi korporasi-korporasi besar itu pasti akan sangat signifikan hasilnya, jika mereka tidak rakus dan tamak. Sampai kapan kenyataan pahit ini akan terus berjalan?

Saya menemukan sebuah tulisan yang bagus sekali! Masalahnya gagasan tentang pemilu ini sering tercecer di sana-sini (terutama di blog ini 🙂 ). Kita mungkin harus melompat-lompat ke sana ke mari untuk bisa membaca dan memahaminya. Kalo ada sebuah tulisan tentang sikap umat Islam hadapi pemilu besok, dalam format yang integral, ringkas, lugas, jelas dan bernas, maka inilah tulisan itu:

بسم الله الرحمن الرحيم

Hukum Pemilu Legislatif dan Presiden

Tidak lama lagi, Indonesia kembali akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) 2009. Pemilu kali ini selain untuk memilih anggota legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat dan Daerah, serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD); juga memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan anggota legislatif akan diselenggarakan pada 9 April 2009. Sedang pemilihan presiden akan diselenggarakan pada awal Juli 2009 untuk putaran pertama, dan pertengahan September 2009 untuk putaran kedua.

Di tingkat pusat, pemilu akan memilih anggota DPR dan DPD di mana keduanya akan secara bersama membentuk MPR. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 3 hasil amandemen ditetapkan bahwa wewenang MPR adalah mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik Presiden dan Wakil Presiden, dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. Tentang kewenangan DPR, pada Pasal 11 ayat 2 disebutkan DPR melakukan persetujuan bersama Presiden dalam membuat perjanjian internasional, keuangan negara, dan perubahan atau pembentukan undang-undang. DPR membahas setiap rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan bersama pemerintah (Pasal 20). Jadi, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal 20A).

Dengan demikian, anggota legislatif memiliki tiga fungsi pokok, yaitu (1) fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU, (2) melantik presiden/wakil presiden, dan (3) fungsi pengawasan, atau koreksi dan kontrol terhadap pemerintah. Sedangkan tugas Presiden, secara umum adalah melaksanakan Undang-Undang Dasar, menjalankan segala undang-undang dan peraturan yang dibuat. Berdasarkan fakta ini, hukum tentang pemilu di Indonesia bisa dipilah menjadi dua, yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Pemilu legislatif pada dasarnya bisa disamakan dengan hukum wakalah, yang hukum asalnya adalah mubah (boleh), berdasarkan hadits Nabi:

«وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: اَرَدْتُ الْخُرُوْجَ اِلىَ خَيْبَرَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ: إِذَا أَتَيْتَ وَكِيْلِيْ بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقًا» (رواه ابو داود و صححه).

Dari jabir bin Abdillah radliyallâhu ‘anhumâ, dia berkata: Aku hendak berangkat ke Khaibar, lantas aku menemui Nabi SAW. Seraya beliau bersabda: “Jika engkau menemui wakilku di Khaibar maka ambillah olehmu darinya lima belas wasaq” (HR. Abu Dawud yang menurutnya shahih).

Selain itu, dalam Bai’atul ‘Aqabah II, Rasulullah SAW meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap beliau saat itu yang dipilih oleh mereka sendiri.

Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa hukum asal wakalah adalah mubah, selama rukun-rukunnya sesuai dengan syariah Islam. Rukun wakalah terdiri dari: Dua pihak yang berakad yaitu, pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl); perkara yang diwakilkan atau amal yang akan dilakukan oleh wakil atas perintah muwakkil; dan redaksi akad perwakilannya (shigat taukîl).

Bila semua rukun tersebut terpenuhi, maka yang menentukan apakah wakalah itu Islami atau tidak adalah amal atau kegiatan yang akan dilakukan oleh wakil. Dalam konteks anggota legislatif, wakil rakyat di parlemen akan menjalankan tiga fungsi pokok, yaitu (1) fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU, (2) melantik presiden/wakil presiden, dan (3) fungsi pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah. Melihat fungsi-fungsi tersebut, hukum wakalah terhadap ketiganya tentu berbeda. Wakalah untuk membuat perundang-undangan sekular dan wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden yang akan menjalankan sistem sekular tentu berbeda hukumnya dengan wakalah untuk melakukan pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah.

Berkaitan dengan fungsi legislasi, harus diingatkan bahwa setiap muslim yang beriman kepada Allah SWT, wajib taat kepada syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan hukum syariah Allah SWT. Allah SWT telah menegaskan,

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ

Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (TQS. Yusuf [12]: 40)

Allah Swt juga menyatakan bahwa konsekuensi iman adalah dengan taat pada syariat-Nya,

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata (TQS. Al Ahzab[33]: 36).

Tidak boleh seorang muslim mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang telah diharamkan-Nya. Tentang hal ini, At-Tirmidzi, dalam kitab Sunan-nya, telah mengeluarkan hadits dari ’Adi bin Hatim –radhiya-Llahu ’anhu— berkata: ’Saya mendatangi Nabi saw. ketika baginda sedang membaca surat Bara’ah:

اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ

”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam.” (TQS. At-Taubah [9]: 31)

Seraya bersabda: ’Mereka memang tidak beribadah kepadanya, tetapi jika mereka menghalalkan sesuatu untuknya, mereka pun menghalalkannya; jika mereka mengharamkan sesuatu untuknya, maka mereka pun mengharamkannya.”

Karena itu, menetapkan hukum yang tidak bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah adalah perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam. Bahkan dapat dikategorikan perbuatan menyekutukan Allah SWT. Seorang muslim wajib terikat kepada syariah Allah, wajib mengambil hukum dari wahyu Allah semata, dan menolak undang-undang atau peraturan buatan manusia yang bertentangan dengan hukum Allah SWT. Dengan demikian, wakalah dalam fungsi legislasi yang akan menghasilkan hukum atau peraturan perundangan sekular atau yang bertentangan dengan syariah Islam tidak diperbolehkan, karena hal tersebut merupakan aktivitas yang bertentangan dengan akidah Islam.

Wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden juga tidak diperbolehkan, karena wakalah ini akan menjadi sarana untuk melaksanakan keharaman, yakni pelaksanaan hukum atau peraturan perundangan sekular yang bertentangan dengan syariat Islam oleh presiden/wakil presiden yang dilantik tersebut. Larangan ini berdasar pada kaedah syara’ yang menyatakan:

(اَلْوَسِيْلَةُ اِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ)

Wasilah (perantaraan) yang pasti menghantarkan kepada perbuatan haram adalah juga haram

Adapun wakalah dalam konteks pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah dibolehkan, selama tujuannya adalah untuk amar makruf dan nahi mungkar (menegakkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran). Wakalah dalam konteks ini merupakan wakalah untuk melaksanakan perkara yang dibenarkan oleh syariat Islam. Maka, pencalonan anggota legislatif dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan tadi dibolehkan sepanjang memenuhi syarat-syarat syar’iy. Bukan dibolehkan secara mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekular. Dan dalam proses pemilihan tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekular.

2. Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari pencalonan itu, yaitu untuk menegakkan sistem Islam, mengubah sistem sekular menjadi sistem Islam, melawan dominasi asing dan membebaskan negeri ini dari pengaruh asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, yakni menegakkan sistem Islam, menghentikan sistem sekular dan mengoreksi penguasa.

3. Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam.

4. Harus konsisten melaksanakan poin-poin di atas

Ini berkaitan dengan hukum pemilu legislatif yang berbeda dengan pemilu presiden. Jika dalam pemilu legislatif bisa disamakan dengan hukum wakalah, lain halnya dengan pemilu presiden. Status presiden dan wakil presiden bukanlah wakil rakyat, sehingga kepadanya tidak bisa diberlakukan fakta wakalah. Dalam hal ini lebih tepat dikaitkan dengan fakta akad pengangkatan kepala negara (nashb al-ra’is) yang hukumnya terkait dengan dua hal, yaitu person dan sistem.

Terkait dengan person, Islam menetapkan bahwa seorang kepala negara harus memenuhi syarat-syarat in’iqad, yaitu sejumlah keadaan yang akan menentukan sah dan tidaknya seseorang menjadi kepala negara. Syarat-syarat itu adalah (1) Muslim; (2) Baligh; (3) Berakal; (4) Laki-laki; (5) Merdeka; (6) Adil atau tidak fasik; dan (7) Mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai kepala negara. Tidak terpenuhinya salah satu saja dari syarat-syarat di atas, cukup membuat pengangkatan seseorang menjadi kepala negara menjadi tidak sah.

Adapun tentang sistem, harus ditegaskan bahwa siapapun yang terpilih menjadi kepala negara wajib menerapkan sistem Islam. Ini adalah konsekuensi dari akidah seorang kepala negara yang muslim. Tambahan lagi, dalam Islam, memang tugas utama kepala negara adalah untuk menjalankan syariah Islam dan memimpin rakyat dan negaranya dengan sistem Islam. Hanya dengan cara itu saja segala tujuan mulia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan tercapai. Memimpin dengan sistem selain Islam tidak akan menghasilkan kebaikan, tapi justru menghasilkan kerusakan dan bencana. Maka, tidak boleh hukumnya memilih presiden yang akan menjalankan sistem sekular. Siapa saja yang memimpin tidak dengan sistem Islam, oleh Allah SWT disebut sebagai fasik dan dzalim; bahkan bila secara i’tiqadi dengan tegas menolak syariat Islam, dinyatakan sebagai kafir. Allah SWT berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Dan, siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (TQS. al-Maidah [5]: 44)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Dan, siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang dzalim.” (TQS. al-Maidah [5]: 45)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan, siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (TQS. al-Maidah [5]: 47)

Wahai kaum muslimin:

Maka, sikap yang semestinya harus ditunjukkan oleh setiap muslim dalam menghadapi pemilu ini adalah:

1. Tidak memilih calon yang tidak memenuhi syarat dan ketentuan di atas. Tidak mendukung usahanya, termasuk tidak mendukung kampanyenya dan mengucapkan selamat saat yang bersangkutan berhasil memenangkan pemilihan.

2. Melaksanakan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh dengan konsisten. Serta berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mengubah sistem sekular ini menjadi sistem Islam melalui perjuangan yang dilakukan sesuai dengan thariqah dakwah Rasulullah saw melalui pergulatan pemikiran (as-shirâul fikriy) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsi). Perjuangannya itu diwujudkan dengan mendukung individu, kelompok, jamaah, dan partai politik yang secara nyata dan konsisten berjuang demi tegaknya syariah dan khilafah; serta sebaliknya menjauhi individu, kelompok, jamaah dan partai politik yang justru berjuang untuk mengokohkan sistem sekular.

3. Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan kritik dan koreksi terhadap para penguasa atas setiap aktivitas dan kebijakan mereka yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak terpengaruh oleh propaganda yang menyatakan bahwa mengubah sistem sekular dan mewujudkan sistem Islam mustahil dilakukan. Tidak boleh ada rasa putus asa dalam perjuangan. Dengan pertolongan Allah, insya Allah perubahan ke arah Islam bisa dilakukan asal perjuangan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Yakinlah, Allah SWT pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya, khususnya dalam usaha mewujudkan tegaknya kembali khilafah guna melanjutkan kembali kehidupan Islam (isti’nâfu al-hayah al- Islâmiyah). Yaitu kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariat Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dengan kepemimpinan seorang khalifah yang akan menyatukan umat dan negeri-negeri Islam untuk kembali menjadi umat terbaik serta memenangkan Islam di atas semua agama dan ideologi yang ada. Kesatuan umat itulah satu-satunya yang akan melahirkan kekuatan, dan dengan kekuatan itu kerahmatan (Islam) akan terwujud di muka bumi. Dengan kekuatan itu pula kemuliaan Islam dan keutuhan wilayah negeri-negeri muslim bisa dijaga dari penindasan dan penjajahan negeri-negeri kafir sebagaimana yang terjadi di Irak dan Afghanistan.

4. Memilih kepala negara yang mampu menjamin negeri ini tetap independen (merdeka) dari cengkraman penjajah. Dengan kata lain, memilih kepala negara yang mampu mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya, bukan malah sebaliknya membiarkan negeri ini dalam cengkeraman dan dominasi kekuatan asing di segala bidang. Juga harus mampu meletakkan keamanan negeri ini semata di tangan umat Islam, bukan di tangan warga negara asing. Tidak membiarkan pengaruh negara penjajah ke dalam institusi tentara dan polisi, apalagi mengijinkan negara asing membuat pangkalan militer di wilayah negeri ini. Sesungguhnya Allah SWT melarang muslim tunduk pada kekuatan kafir.

وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً

Dan Allah sekali-kali tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin (TQS. An-Nisa[4]: 141).

Akhirnya, semua berpulang kepada umat Islam, apakah akan membiarkan negeri ini terus dipimpin oleh penguasa dzalim dengan sistem sekular dan mengabaikan syariah Islam yang membuat negeri ini terus terpuruk; ataukah sebaliknya memilih pemimpin yang amanah dan menegakkan syariat Islam sehingga kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan benar-benar akan terwujud. Begitu juga, semua berpulang kepada umat Islam, apakah akan membiarkan negeri-negeri muslim tetap tercerai-berai seperti sekarang dan tenggelam dalam kehinaan; atau sebaliknya berusaha keras agar bisa menyatu sehingga izzul Islam wal muslimin juga benar-benar terwujud

Karena itu, umat Islam di Indonesia sebagai pemegang kekuasaan hendaknya memperhatikan momentum pemilu ini. Bahwa Pemilu ini tidak boleh menjadi alat untuk melanggengkan sistem sekular. Umat Islam harus berusaha untuk menegakkan sistem Islam dan menghentikan sistem sekular, serta berusaha mewujudkan seorang kepala negara yang mempunyai syarat dan ketentuan Islam sebagaimana dijelaskan di atas, yang akan menegakkan sistem Islam dan menyatukan negeri-negeri di bawah naungan khilafah.

Wahai umat Islam, inilah saatnya, ambillah langkah yang benar! Salah mengambil langkah berarti turut melanggengkan kemaksiatan. Marilah kita renungkan firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya; dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (TQS. Al-Anfal [8]: 24)

19 Rabi’ul Awwal 1430 H/16 Maret 2009

Hizbut Tahrir Indonesia

Mudah-mudahan ini bisa menjadi semacam “Survival Guide for Moslem Voters”, atau semacam panduan bagaimana kita sebagai muslim bisa survive dalam menghadapi pemilu besok. Jangan sampai malah hanyut terbawa arus dan akhirnya “mati” tenggelam. Tenggelam akidah kita, tenggelam syariah kita, tenggelam nasib bangsa kita.

PS: Bagi yang tidak setuju dengan tulisan di atas, saya akan sangat senang sekali mendengar counter argumen Anda! 🙂 Saya tunggu.

Jujur, dulu saya sempat terpengaruh dengan argumen di atas, bak seorang penonton yang terkesima oleh permainan sulap seorang ilusionis ulung. Thanks to Mbak Novy yang menyadarkan saya dari pengaruh hipnotisme ilusi semantik “pilihlah yang terbaik dari yang terburuk” itu.  Berikut penjelasannya:

@Puryanto yang mengatakan, “Oleh karenanya jangan golput !!!! Pilih yang terbaik diantara yang jelek sekalipun… !!”. Gak logik ahh…masak yang terbaik diantara yang jelek sekalipun ? Itu mah namanya tetap milih yang jelek diantara yang jelek-jelek dong…..masak jelek bisa dibilang baik or terbaik ? ? ?

Yups, yang baik tetap yang baik, yang buruk tetap yang buruk. Yang buruk tidak otomatis bisa menjadi baik hanya karena disandingkan dengan yang buruk-buruk. Nanti ukuran baik-buruk jadi relatif dong. Padahal kebaikan adalah apa yang dianggap baik oleh syariah, dan yang keburukan adalah apa yang dianggap buruk oleh syariah. Coba kalau kita disuruh milih, mau minum wishki atau makan daging babi? Pilih meninggalkan sholat atau puasa ramadhan? Nggak bisa hanya pilih salah satunya kan? Karena dua-duanya haram, jadi dua-duanya mutlak harus ditinggalkan.

Argumen “pilihlah yang terbaik dari yang terburuk” sering juga dikaitkan dengan kaidah ushul fiqh ahwanu syarrain atau akhafu dhararain (yang paling ringan dari dua keburukan). Kalaupun kaidah ini memang benar adanya, penggunaanya nggak bisa sembarangan, seperti pada hal-hal yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah SWT.  Silahkan lihat tinjauan syar’i serta aplikasi yang benar dari kaidah-kaidah tadi pada tulisan ini: Bedah Qaidah Ahwanu Al-Syarrain (قاعدة أهون الشرين).

Topik Utama: Top 10 Alasan Sesat Wajibnya Pemilu

Baca ini dulu: Keutuhan dan Kesempurnaan Islam. Sudah? Anda masih mengatakan bahwa dalam Islam yang penting pemimpinnya saja? Sedangkan sistem dan aturannya bisa bebas? Oke kalau Anda masih yakin bahwa Islam tidak mengatur aspek sistem politik, ekonomi, sosial, hukum, pidana, dan lain-lain, coba anda buka Al-Quran dari awal sampai akhir, dan juga kitab-kitab Hadist dari awal sampai akhir, dan pisahkan ayat-ayat dan hadist-hadist yang berbicara tentang pemerintaham, perekonomian, pendidikan, sosial, hukum, pidana, politik luar negeri, dan hukum-hukum muamalah lainnya. Pisahkan semuanya dari tema-tema hukum ibadah dan akhlak karimah. Ketika Anda memisahkan tema-tema muamalah tadi dari Al-Quran dan Al-Hadist, berapa persen yang tersisa? Mungkin tidak lebih dari sepuluh persen. Karena sebagian besar Islam adalah hukum-hukum tentang muamalah yang mengatur aspek sistem dan aturan manusia.

Anda masih ragu? Oke saya ingin bertanya kepada Anda? Pernahkah Anda mendengar di IAIN membuka fakultas Ibadah, dengan jurusan-jurusan sholat, zakat, puasa dan haji? Tidak kan? Tapi Anda pernah mendengar di IAIN membuka fakultas muamalah, dengan jurusan-jurusan siyasah, uqubah, jinayah, dll. Ada juga jurusan ahwal syaksiyah yang mempelajari hukum-hukum Islam tentang nikah talak rujuk cerai waris dll, yang lulusannya biasanya menjadi hakim agama. Coba Anda renungkan, untuk menjadi hakim agama saja, yang hanya mengurusi sub domain hukum Islam seputar nikah dan waris yang sangat sepesifik, harus kuliah 4-5 tahun. Belum lagi seputar politik/siyasah. ekonomi/iqtisadiyah, hukum/uqubah, dll. Sebaliknya, Anda tidak perlu kuliah dan belajar 4-5 tahun untuk belajar sholat atau naik haji. Paham yang saya maksud? Artinya hukum-hukum muamalah mencakup 90% atau sebahagian besar dari agama Islam itu sendiri. Dan kesemuanya itu berbicara tentang sistem atau sekumpulan aturan yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Jadi jelas sekali Islam disamping berbicara tentang orang/pemimpin, Islam juga berbicara tentang aturan dan sistem yang melingkupinya. Dua-duanya harus dipastikan berjalan beriringan, atau rahmat Islam tidak akan pernah bisa kita rasakan.

Topik Utama: Top 10 Alasan Sesat Wajibnya Pemilu

Jadi targetnya adalah menjadikan muslim sebagai pemimpin di negeri ini? Beneran neeh!? Bukannya sejak kita merdeka 60 tahun silam sampai sekarang presidennya muslim? Bukannya sejak kita merdeka 60 tahun silam sampai sekarang kabinetnya mayoritas muslim? Bukannya sejak kita merdeka 60 tahun silam sampai sekarang parlemennya mayoritas muslim? Lho, bukannya itu sudah dicapai selama ini? Jadi bukan barang baru lagi kan? Pertanyaannya adalah, apa yang kita capai selama ini, dengan mayoritas muslim memegang tampuk kekuasaan? Kemiskinan 50 juta dan terus meningkat? Pengangguran 40 juta dan terus meningkat? SDA kita terus dilacurkan untuk korporasi asing? Pendidikan mahal? Kesehatan mahal? Riba dan zina semakin menggila? Saya mau tanya, prestasi apa yang bisa dibanggakan ketika orang Islam memegang kekuasaan?

Jangan salah, dalam Islam kepala negara memang wajib muslim. Dan kita dilarang mengangkat pemimpin non-muslim sebagai penguasa. Tapi dalam Islam selain diwajibkan mengangkat pemimpin muslim, kita juga diwajibkan memastikan pemimpin tersebut menjalankan aturan dan kebijakan berdasarkan Quran dan Sunnah, bukan selain keduanya seperti yang terjadi selama ini! Nah kewajiban menjalankan aturan Islam dalam bernegara ini yang BELUM DILAKUKAN OLEH PEMIMPIN MUSLIM SATU PUN SELAMA INI, sejak Indonesia merdeka sampai sekarang! Dan inilah masalahnya mengapa kita terus terpuruk dan terjerembab dalam kubangan dosa dan nista.

Kalau hanya seperti ini, lantas apa bedanya ketika kita dipimpin oleh pemimpin non-muslim, yang JUGA MENERAPKAN HUKUM SELAIN QURAN DAN SUNNAH? Apa bedanya kita dengan AS, yang sekalipun pemimpinnya non-muslim tapi ekonominya sama-sama kapitalis? Apa bedanya kita dengan Inggris, yang sekalipun pemimpinnya non-muslim tapi pendidikannya sama-sama sekular? Apa bedanya kita dengan Perancis, yang sekalipun pemimpinnya non-muslim tapi sama-sama membolehkan pornografi, pornoaksi dan lokalisasi? Apa bedanya kita dengan Jerman, yang sekalipun pemimpinnya non-muslim tapi sama-sama menjadikan riba sebagai penggerak roda ekonominya. Ingat, saya tidak mengatakan lebih baik kita dipimpin non-muslim. Tapi saya ingin mengatakan, memilih dan mengangkat pemimpin yang beragama Islam adalah wajib. Tapi tidak cukup sampai di sini. Pemimpin itu harus dipastikan untuk menjalankan sistem dan tatanan yang berdasarkan Quran dan Sunnah, dengan menerapkan syariah secara kaffah dalam bingkai khilafah!

Topik Utama: Top 10 Alasan Sesat Wajibnya Pemilu

Terbukti bebas dari korupsi yang mana? Karena korupsi itu bermacam-macam. Ada korupsi kelas jalanan seperti pungutan liar dan lain-lain. Ada juga high level corruption atau penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan diri seperti yang rame-rame ditangkap KPK belakangan ini. Dan yang paling mengerikan adalah ideological level corruption dimana yang korup adalah ideologi dan sistemnya, jadi sekalipun parpol dan calegnya jujur 100%, mereka tetap korup karena menjalankan sistem yang korup, seperti sistem yang dibangun di atas asas kapitalisme-sekulerisme sekarang ini. Dimana negara beralih fungsi menjadi kepanjangan tangan bagi kepentingan bisnis. Lihat saja aroma kebijakan privatisasi dan swastanisasi yang menyeruak dimana-mana, mulai dari BBM dengan UU Liberalisasi Migas, UU Penanaman Modal Asing, UU Sumber Daya Air, kekayaan hutan digadaikan dengan HPH, pendidikan disuruh cari duit sendiri dengan BHMN, tambang emas perak tembaga di Papua dikeruk habis-habisan oleh Freeport, UU Pornografi terganjal karena tekanan industri pornografi asing. Jadi negara kita ini sekalipun pemimpinnya jujur, tapi menjalankan kebijakan pro-kapitalis dan pro-korporasi yang korup. Kalau pun bebas korupsi, paling hanya level jalanan dan kekuasaan elit, percumah! Dan ini belum solutif dan efektif. Seharusnya berantas juga korupsi level ideologis, dengan mengganti sekulerisme dan kapitalisme dengan Islam, syariah dan khilafah!

Topik Utama: Top 10 Alasan Sesat Wajibnya Pemilu

Tidak perlu repot-repot menunggu lima tahun hanya untuk melihat jika nanti terjadi hal-hal yang tidak beres atau bencana di negeri kita. Praktis sejak diabaikannya syariah, dan diberlakukannya sekulerisme dan kapitalisme 60 tahun yang lalu sampai sekarang, kita sudah menjadi bangsa terpuruk yang selalu berkawan dengan bencana multidimensional! Padahal Allah SWT telah memperingatkan kita dalam Surah Thaha 124: Barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit… Pertanyaannya, apa yang telah kita lakukan selama ini, sampai bangsa ini menjadi tak karuan nasibnya? Kata Einstein, kita dikatakan gila (insane), if we’re doing the same thing over and over again but expecting different results. Naa kalo selama 5-15 tahun ini kita memilih terus dan hasilnya begini-begini saja. Mungkin sudah saatnya kita mencoba sesuatu yang berbeda, sesuatu yang berani, cerdas dan radikal! Atau memang kita sudah insane!

Topik Utama: Top 10 Alasan Sesat Wajibnya Pemilu

Ini hanya berlaku bagi mereka yang hanya menyerukan golput tapi tidak melakukan apa pun. Namun bagi orang-orang yang golput dengan alasan-alasan teologis dan ideologis, mereka justru bekerja siang malam tanpa henti memperbaiki negeri ini. Bahkan mereka bekerja lintas negara dan benua, membentuk jejaring untuk membebaskan manusia dari bencana cengkraman sekulerisme dan kapitalisme global.

Anda bisa melihat link “A Global Liberation Movement” pada blogroll saya, dan melihat beberapa hal yang sudah, sedang dan akan dilakukan untuk membuat dunia ini lebih baik lagi. Bahkan banyak teman kami di beberapa negara, harus head to head dengan rezim yang represif. Mereka ditangkap, dipenjara dan disiksa, bukan karena mereka membawa senjata api, bom, atau rocket propelled grenades (jangankan senjata, aturan internal kami melarang membakar bendera ketika berdemonstrasi). Bukan karena itu semua, tapi karena mereka menyerukan syariah dan khilafah (ya, sebuah seruan yang dianggap utopia dan tidak kokrit bagi sebagian muslim). Artinya, apa yang kami serukan, menjadi momok menakutkan bagi para penguasa pro kapitalis dan pro sekuler, dan mengancam status quo mereka:

Mereka yang telah mendedikasikan hidupnya untuk sebuah perjuangan yang mulia, bahkan siap dengan resiko terburuk sekalipun; berpisah dengan anak istri tercinta, ditangkap, disiksa bahkan dibunuh, tentu bukan orang-orang yang apatis dan tak peduli. Justru hanya orang-orang yang hanya mau menerima “resiko terbaik”; seperti gaji tinggi, tunjangan lengkap, duduk di kursi kulit mewah empuk, dan ruangan parlemen yang megah nyaman ber-AC (data detil selahkan click ini), kadang-kadang malah ngorok lagi pas sidang!! Mereka-mereka itulah yang lebih layak mendapatkan predikat apatis dan tak peduli!!

Topik Utama: Top 10 Alasan Sesat Wajibnya Pemilu

Sedjak satoe maret 2009

  • 81.573 hits